Selasa, 23 Desember 2008

Story 4


Ummi, Maafkan Emak!*
Khristianto**

Yu Darni terlihat duduk menyangga dagu di atas lincak, balai-balai bambu di depan rumahnya. Pandangannya kosong tak menghiraukan percikan-percikan air yang terloncat dari aliran hujan yang meluncur dari ujung atap seng rumahnya. Entah apa yang tengah ia nikmati dari hawa dingin yang dibawa hujan dan hembusan angin yang cukup keras menerpa rumah-rumah kecil di ujung desa itu.
“Ummi…!” dengan agak menggumam bibirnya menyebut dan setengah memanggil sebuah nama. Bibirnya masih tetap mengatup.
“Hemmh…Ummmi…” kembali diulanginya panggilan itu kali ini dengan isakan kecil. Dengan perlahan ia bangkit dari duduknya. Dengan kedua tangannya, ia sisingkan jarit kumal yang menutupi tubuh bagian bawah. Ia angkat sampai tepat di atas lututnya. Kakinya agak jinjit, saat ia memasuki deras hujan dan melangkah ke depan halaman. Lurus dan berhenti di depan tanaman perdu yang merupakan pagar pekarangan. Tangan kirinya berpegangan pada perdu, sementara tangan kanan mengais-ngais air yang memenuhi kubangan lubang pembuangan sampah. Sesekali kedua kakinya dimasukan untuk menjangkau lebih dalam. Matanya masih kosong. Bibirnya menyungging senyuman. Kali ini ia bangkit, dan mencari-cari sesuatu. Tengak-tengok sana-sini. Kembali ia tersenyum dan terlihat lega. Ia berlari-lari kecil. Dan sudah tidak menghiraukan lagi jaritnya yang basah kuyup oleh hujan atau dari percikan air kotor saat ia berjalan. Dengan cepat, ia memungut sebilah bambu yang cukup panjang sebesar lengan. Lalu kembali ke kubangan. Agak tergesa, ia mengaduk-aduk air berwarna kuning tanah itu. Terus mengobok-obok lubang sampah yang dipenuhi air hujan itu. Dan sesekali ia menusuk-nusuk dasar kubangan yang mirip sumur kecil itu. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Kecapaian. Matanya kembali kosong. Wajahnya hampa. Menunduk. Jatuh terduduk sambil tetap memegang bambu yang tertancap. Lalu terdengar suara tangisan. Lirih sekali. Kepalanya terangguk-angguk seiring dengan isakan tangisnya. Sementara hujan terus mengguyur makin deras, dan suara bedug maghrib menggema menyadarkan penduduk desa untuk menjalankan kewajiban sebagai hamba.
***
“Kang Mus, apa ini tidak terlalu dalam?” tanya Yu Darni di satu siang.
“Ah…ya enggak Dar, biar awet. Buangan sampah yang kamu injak itu kan baru digali sebulan kemarin,” ujar Kang Mus mencoba membela diri.
“Iya…tapi apa enggak berbahaya untuk anak-anak?” Yu Darni mulai mengungkapkan alasan kekhawatirannya.
“Yaaa enggak to….Toh lubang ini tidak di tengah jalan.”
Perdebatan kedua suami-istri itu berakhir.
“Kang! Aku sarankan lubangnya jangan dibiarkan terbuka seperti itu…Pagari dengan batang ubi kayu …”
“Mbok …wis. Enggak apa-apa. Aman-aman!” Kang Mus tetap keras kepala.

Selepas Asar, Kang Mus, masih memakai peci dan sarung, beridiri di depan lubang galian yang menganga. Tampaknya kang Mus sedang menikmati karyanya yang ia ciptakan hampir penuh setengah hari. Sesekali ia mengukur jarak lubang sampah itu dengan tapak kakinya. Ia berjalan bolak-balik dari halaman rumah batas lalu-lalang orang sampai ke bibir lubang. Ia ingin memastikan tingkat keamanan hasil keringatnya itu.
Dari arah Barat, datang seorang bapak-bapak sebaya dengan Kang Mus.
“Mus…buat apa lubang ini?” tanya orang itu sambil melongok ke dalam galian.
“Eh…Jalil, itu blumbang, tempat buang sampah, kenapa?,” Kang Mus balik bertanya dengan sedikit ketus.
“Wong blumbang kok seperti sumur, buat blumbang itu yang lebar dan jangan terlalu dalam!”
“Lha wong biar awet!”
“Tapi…apa tidak berbahaya?” ujar Jalil.
“Berbahaya kenapa? Toh ini jaraknya cukup jauh dari jalan? Siapa orangnya yang mau jalan terus minggir-minggir ke sini? Kecuali mau kuwalat. Apa mau nabrak pohon-pohon itu?”
Dari dalam rumah, seorang gadis kecil berlari kecil. Kemudian menghampiri Kang Mus. Berpegangan pada lengan kanan bapaknya itu. Kang Mus melihat sebentar pada buah hatinya itu. Mengelus rambutnya yang sepundak. Dan kembali mengambil kuda-kuda untuk memenankan perdebatan kecil itu.
Kang Jalil menyapa sebentar anak tetangganya itu. Lalu kembali mempertahankan pendapatnya.
“Mus…kini aja. Ini cuma saran saja. Sebaiknya jangan biarkan sumur ini….eh…buangan sampah ini terbuka begitu saja. Pagari sebagian dengan pokok kayu ubi. Itu lebih aman. Toh…daunnya bisa dimanfaatkan untuk sayur dan lalap,” Jalil mengakhiri pembicaraan itu, dan meneruskan perjalanannya. Wajahnya tampak sedikit bersungut-sungut.
Kang Mus memang dikenal orang yang keras kepala. Dalam kasus sumur galian sampah ini, Kang Mus tampak selalu pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi cemoohan tetangga pada karyanya itu.
Selepas berlalunya Jalil, Kang Mus mengangkat tubuh mungil itu. Menggendongnya. Setelah kembali mengamati, atau pun mengagumi galian yang menganga di depannya, ia melangkah masuk ke rumah.
Dari dalam rumah, terdengar dialog bapak-anak.
“Pak!…Umi main-main di cumul itu, boleh?”
“Sumul? Itu bukan cumul sayang…itu tempat sampah!”
“Umi enggak boleh main di situ. Kotor dan berbb…” Kang Mus menghentikan nasehat itu. Dalam hati, ia merasa ada kebenaran pada apa yang orang-orang katakan.
“Pokoknya …Umi tidak boleh main di sana. Main di lumah saja. Tama Bapak, Emak. …”
“Tama mas ibang, mbak iloh…tama…,” anak manis itu menyebutkan teman-teman mainnya dengan cedal. Kecedalan yang membuat kedua orang tua mereka terhibur dan mengulum senyum.
Mereka sangat bangga dan bersyukur akhirnya mendapatkan anak, setelah tujuh tahun perkawinan mereka. Itupun setelah mereka ke sana, ke mari mencari nasehat dari orang pinter. Konon, kata salah satu orang pinter itu, Yu Darni memang memiliki bakat ‘kurang-subur’, dan bila suatu saat hamil, maka itulah kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang dua kali. Lima bulan setelah mereka dari orang pinter sekaligus ustadz tersebut, dan melahap habis segala jenis makanan yang dianjurkan, termasuk sepasang kelinci putih sebagai lambang kesuburan, Yu Darni mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan, dan lahirlah bayi perempuan itu.
Yu Darni terlihat begitu bahagia semenjak itu, karena bisa membuktikan pada Kang Mus bahwa ia adalah perempuan sejati. Begitu juga dengan Kang Mus yang selalu memamerkan bayi mungilnya itu pada tetangga dan handai taulannya. Ia kini tidak lagi menyalahkan perempuan yang dikawininya itu, tidak lagi membanding-bandingkan Yu Darni dengan perempuan-perempuan lain, terutama saudara-saudaranya yang punya anak banyak. Rasanya satu anak perempuan memang sudah cukup untuk memuaskan kebahagiaan mereka. Tidak masalah bila apa yang dikatakan oleh orang pinter itu benar Dan setelah Ummi berusia tiga tahunpun, Yu Darni tidak pernah hamil lagi, meski ia tidak meminum apapun, atau memasang apapun untuk mencegah kehamilan. Mungkin memang benar.
***
Selepas dluhur, Ummi terlihat bermain-main dengan teman-temannya. Mereka bermain rumah-rumahan yang dibentuk dengan tanah. Petak-petak segi empat dianggap sebagai rumah-rumah kecil. Keasyikan mereka terpotong oleh hujan yang turun dengan tiba-tiba. Langit yang awalnya cerah segera tertutup awan pekat. Ummi tetap bermain di tengah hujan, meski teman-temannya sudah berhamburan pulang. Anak kecil itu sayang dengan rumah petaknya itu yang lama-lama hilang tersaput oleh derasnya hujan. Dinding-dinding rumah idamannya mulai hilang di sana-sini. Ia celingukan mencari tanah untuk membangun rumah yang lebih kuat. Ia tersenyum saat menyadari bahwa bapaknya telah menyediakan material yang amat banyak untuk mewujudkannya keinginannya. Gundukan tanah di seberang galian itu menjanjikan rumah-rumahan yang tidak akan kalah oleh air hujan.
Tubuh Yu Darni terlihat makin terguncang oleh tangisnya. Tangisnya berhenti sebentar. Lalu tersenyum yang diikuti tawa keras dan lepas. Sementara hujan masih terus mengguyur. Dan malam terus mempererat pelukannya pada hari dengan kegelapan. Kesedihan Yu Darni atas kematian anaknya diperparah dengan kemarahan Kang Mus yang menyalahkan dirinya yang tertidur lelap ketika blumbang itu melahap anak manusia. Tampaknya keluarga Kang Mus pun mengamini hal itu. Sampai akhirnya, Kang Mus pun meninggalkannya. Menceraikan istrinya yang tidak mungkin hamil lagi. Yu Darni kini tidak punya siapa-siapa. Tangisan terenyuh kembali terdengar dari mulut perempuan yang tadi tertawa terbahak-bahak. Sementara tangan dan kakinya terus mencari-cari tangan kecil yang menggapai.
* Dimuat di harian Radar Banyumas (Radarmas Purwokerto)

** Pengajar di Fakultas Sastra, UMP Purwokerto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar