Selasa, 23 Desember 2008

Story 3


Sayap, Dewi Fortuna dan Ajeng
Shindu VH

Malam hening. Aku gagap. Aku merasa sangat bersalah. Salah yang rasanya tak mungkin terampuni. Dosa yang amat besar. Aku telah ceroboh memainkan sebuah hati yang lembut. Selembut sutera. Aku tak ingin lembaran itu robek sedikitpun. Aku tidak ingin rona-rona di wajahnya hilang. Ingin tetap mempertahankan itu. Kupejamkan mata. Lama sekali. Hehhmmm. Berat sekali pilihan hidup ini. Atau hati ini yang terlalu lemah.
Sayup...sayup dari kamar di belakangku lagu “Kasih Tak Sampai” Padi makin membuat hati tambah merasa berdosa. “Jeng...Maafkan aku! Aku sungguh tidak bisa melepaskan rajutan jala yang ditebarkan Ibu Dewi. Hutang budiku terlampau menumpuk untuk dibalas hanya dengan terima kasih,” ujarku mencoba meminta pengertian Ajeng.
“Enggak bisa...!” makin keras sesenggukkannya.
Aku makin membenamkan wajah tirusnya ke dadaku, takut terdengar oleh teman-teman kosnya. Tangan Ajeng makin erat merangkul pinggangku. Ia betul-betul tidak bisa menerim alasanku. Aku pun menangis. Mengecup bagian atas kepalanya yang menunduk. “Maafkan aku Jeng....aku betul-betul tidak punya pilihan....Maafff,” makin kuat dekapanku. Air mataku pun membasahi kerudung putihnya. Sungguh aku pun tidak ingin kehilangan sosok ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Benih cinta yang dulu kutabur telah mengakar kuat di kalbu ini. Juga di hati Ajeng, aku tahu itu. Tapi...ehmmm. “Allah...,” bisikku dalam hati. “Kuatkan hati kami.”
***
Lulus SMA, aku pun ragu apakah akan melanjutkan sekolah atau tidak. Aku sadar Bapak cuma seorang pedagang kecil. Ia harus keliling ratusan kilometer untuk menjajakan dagangannya. Setiap hari begitu untuk menghidupi kami. Sebuah keluarga besar dengan kelima saudaraku. Apalagi aku adalah anak tertua. Aku tidak bisa egois menuntut Bapak untuk mendukung sekolahku. Sekalipun aku menuntut, apa yang bisa dilakukan Bapak. Emak pun sejak aku SMP sudah mewanti-wanti agar mimpi sekolahku jangan terlalu melambung. “Sar...lihat ke belakangmu...Bapak, adik-adikmu, dan Emakmu ini!” pesan ini selalu diulang-ulang Emak setiap kali aku menyampaikan keinginanku untuk terbang tinggi. Ya...aku ingin seperti Mas Candra putranya Wak Haji, atau Mbak Kinasih putri Mbah Manten. Mereka sekarang jadi pegawai.
:Lain Emak, lain Bapak. Bapak malah membuat aku terus bermimpi. Dialah yang mendorong-dorong, atau bahkan terlalu memaksakan, aku untuk melanjutkan ke SMA. “Le...sayang kalo’ kau hanya lulus SMP thok. Eman-eman ijazahmu itu,” Bapak mulai memasang jurusnya. “Lha wong Lik Karto saja mau membayar satu juta agar si Doli bisa sekolah di SMA itu...” aku pun mulai terpancing. “Koe khan tinggal bledheng, langsung masuk...aku tidak perlu salam tempel.” Memang benar apa yang dikatakannya. Banyak teman-temanku yang terpaksa sekolah jauh, karena tidak diterima di sekolah negeri terdekat. Berbeda dengan anak-anak orang kaya, termasuk Lik Karto yang juragan beras itu, mereka tidak bisa memberikan uang ekstra yang dipatok sekolah bagi para pemain cadangan yang pengin dapat kursi. Berbagai alasan disampaikan pihak sekolah untuk memperoleh dana tambahan dari orang tua yang anaknya kurang pinter. Untuk beli bangkulah, sumbangan pembangunan, tambahan untuk membangun lab komputer, bahkan ada yang beralasan untuk beli kulkas kantor. “Wis Le...sekolah saja! Biar aku, bapakmu ini, pulang agak sore untuk nyari sangu.”
Kalimat itu menjadi awal kenapa aku sekarang duduk di semester akhir. Meskipun tidak mudah untuk hidup jauh dari rumah dengan orang tua yang tidak lagi dapat diharapkan kirimannya. Aku pun menyadari itu sejak aku berpamitan dengan keluarga. “Pak, Mak...besok aku berangkat ke Solo,” ujarku pada dua jiwa yang paling berharga yang termangu di hadapanku. Emak tampak mulai melelehkan air mata. Bapak memandangku dan tetap tersenyum memberiku spirit untuk terus mengepakkan sayap. Indukku percaya sepenuhnya, aku pasti bisa terbang. “Sar...saatnya dirimu terbang sekarang, aku dan Emakmu di sini akan terus mengalunkan restu dan doa...biar resiko apapun bisa kau hadapi,” kata-kata Bapak membuatku betul-betul ingin terbang. “Ketika terpaksa kau jatuh. Berhenti sekejap, ambil napas, kumpulkan tenaga, dan jangan lupa doa pada Sang Perkasa, Dialah yang menentukan jangkauan terbangmu.” Kata-kata Bapak itu berakhir bersamaan dengan kepakan sayapku.
***
Ini mungkin bentuk jatuh dari terbangku. Sayapku terasa patah satu. Aku hampir menyerah untuk terbang kembali. “Bapak...alunkan doamu sekarang....sayapku tidak bisa lagi terbang,” bisiku di sela-sela doa tengah malam. Cobaan ini begitu berat. Sudah satu minggu, aku pontang-panting untuk mendapatkan pinjaman untuk membayar daftar-ulang. Besok adalah hari terakhir. Malam itu aku tidak tidur. Aku berdoa dan terus berpikir. Rasanya semua jalan sudah coba kutempuh. Semua arah sudah coba ku jangkau ....tapi aku tetap belum bisa melepaskan diri dari jeratan ini. Terbangku terasa terbentur dalam ruang tertutup. Gelap dan mengerikan. Haruskah aku gagal sekarang?
Dengan langkah canggung, aku menghadap Bu Dewi, Kabag Keuangan. Aku bertekad untuk terus terang. “Terus kapan kamu bisa bayar itu?” agak lega sudah mendengar pertanyaan itu. Sayapku sedikit kukepakkan. “Tidak tahu Bu, nanti pokoknya kalo’ ada rezeki pasti langsung aku bayarkan!” Bu Dewi memandangku dan tampak tengah berpikir. Dahi tuanya tampak berkerenyit dan pena itu terus diketuk-ketukkan ke meja. “Begini saja, kamu bayar pakai uangku dulu. Tapi ingat...janjimu itu harus kau tepati!” Aku langsung membumbung. Sayap-sayapku terasa begitu perkasa. “Terima kasih, Bu!” aku bersalaman dan ku cium tangannya seiring bisikan syukur di kalbu.
Semenjak itu, aku akrab dengan kelurga Bu Dewi—yang sering kugumamkan sebagai Dewi Fortunaku. Ku kenal semua anak-anak sampai pembantunya. Hutangku akhirnya terbayar hanya dengan mengeles Budi, putranya yang masih duduk di SMP. Aku sering sekali mendapatkan nasehat darinya. Ia sudah tidak beda dengan Bapak dan Emak.
***
Aku makin keras mengepakkan sayap dengan kehadiran Ajeng dalam kehidupanku. Pertemuan tak sengaja di sebuah forum akhirnya mengantarkan berkembangnya makna cinta yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Kehidupanku yang cukup keras membuat aku tidak ingin memikirkan hal lain. Aku tidak ingin mimpiku buyar hanya masalah sepele. Selama ini, jenis aktivitas kehidupan semacam itu memang kuanggap sepele. Hanya membuang waktu. Tapi wajah tirus itu telah membalikkan pandanganku. Matanya selalu menjanjikan harapan. Itulah alasan pertama aku memutuskan untuk mengajaknya bersama-sama terbang, melintasi kehidupan, dan menyelami bayu yang kadang lembut dan sering keras menerpa.
***
Ku duduk terpaku di samping tubuhnya yang tampak begitu lemah. Sesekali ku pijat-pijat tapak kakinya. Berusaha menguatkan hatinya. “Allah...sembuhkan Dewi Fortunaku ini,” doa-doa itu terus liris kubisikkan dalam hati. Jantungnya yang memang sudah lemah itu tidak dapat menahan luapan emosinya. Hatinya guncang dan tidak bisa menerima kenyataan pahit. Pahit sekali bagi hati putih yang terlampau tulus. Aku juga sempat bertanya mengapa dia yang harus menerima cobaan itu. Laras, putri sulungnya, tanpa terduga telah hamil tiga bulan. Sementara, kekasihnya saat ini tengah melanjutkan studinya di Hardvard. Ibu Dewi benar-benar shock, dan langsung lunglai, tergolek di rumah sakit. Beginikah bentuk cobaan sosok yang begitu agung. Kapal besar, badai besar.
“Mas Sar! Mas Sar! Tuh dipanggil Ibu!,” suara Budi langsung membuatku terbangun dari dudukku. Aku langsung melangkah ke kamar No 2 di ruang paviliun itu. Hanya ada Bu Dewi. Tampaknya ada sesuatu yang khusus.
“Sar, kau tahu kan masalah yang dihadapi keluarga kami sekarang.....Kami sudah berpikir mencari jalan terbaik. Dan...akhirnya tertumpu pada belas kasihmu, ketulusanmu, uluran tanganmu...untuk menunda kami dari kubangan masalah ini.”
Terperanjat, aku diam dan tanpa berpikir Aku langsung mengangguk meski lemah.
***
“Sartono Sarjana Kedokteran,” namaku dipanggil untuk masuk ke barisan para wisudawan. Aku mendekap tangan Ajeng, dan mengangguk pada Bapak dan Emak. “Bapak....Emak kuambilkan hadiahku untuk kalian. Bapak...mimpi yang kukejar dengan sayap yang kau berikan kini teraih. Ini berkat do’a Bapak dan Emak.” Betikan-betikan hati itu mengiringiku bangkit berdiri. Aku berbalik ke balkon belakang, tersenyum pada Bu Dewi, Laras dan Mas Herdi, suaminya. Mereka tersenyum dan mengangguk. Aku melangkah dengan setetes air mata haru di sudut kelopak. Tampak horison biru dunia, sementara aku terus mengepakkan sayapku. Menikmati terpaan bayu.

Dukuhwaluh, puasa hari ke-8 Oktober 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar