Selasa, 23 Desember 2008

Story 4


Ummi, Maafkan Emak!*
Khristianto**

Yu Darni terlihat duduk menyangga dagu di atas lincak, balai-balai bambu di depan rumahnya. Pandangannya kosong tak menghiraukan percikan-percikan air yang terloncat dari aliran hujan yang meluncur dari ujung atap seng rumahnya. Entah apa yang tengah ia nikmati dari hawa dingin yang dibawa hujan dan hembusan angin yang cukup keras menerpa rumah-rumah kecil di ujung desa itu.
“Ummi…!” dengan agak menggumam bibirnya menyebut dan setengah memanggil sebuah nama. Bibirnya masih tetap mengatup.
“Hemmh…Ummmi…” kembali diulanginya panggilan itu kali ini dengan isakan kecil. Dengan perlahan ia bangkit dari duduknya. Dengan kedua tangannya, ia sisingkan jarit kumal yang menutupi tubuh bagian bawah. Ia angkat sampai tepat di atas lututnya. Kakinya agak jinjit, saat ia memasuki deras hujan dan melangkah ke depan halaman. Lurus dan berhenti di depan tanaman perdu yang merupakan pagar pekarangan. Tangan kirinya berpegangan pada perdu, sementara tangan kanan mengais-ngais air yang memenuhi kubangan lubang pembuangan sampah. Sesekali kedua kakinya dimasukan untuk menjangkau lebih dalam. Matanya masih kosong. Bibirnya menyungging senyuman. Kali ini ia bangkit, dan mencari-cari sesuatu. Tengak-tengok sana-sini. Kembali ia tersenyum dan terlihat lega. Ia berlari-lari kecil. Dan sudah tidak menghiraukan lagi jaritnya yang basah kuyup oleh hujan atau dari percikan air kotor saat ia berjalan. Dengan cepat, ia memungut sebilah bambu yang cukup panjang sebesar lengan. Lalu kembali ke kubangan. Agak tergesa, ia mengaduk-aduk air berwarna kuning tanah itu. Terus mengobok-obok lubang sampah yang dipenuhi air hujan itu. Dan sesekali ia menusuk-nusuk dasar kubangan yang mirip sumur kecil itu. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Kecapaian. Matanya kembali kosong. Wajahnya hampa. Menunduk. Jatuh terduduk sambil tetap memegang bambu yang tertancap. Lalu terdengar suara tangisan. Lirih sekali. Kepalanya terangguk-angguk seiring dengan isakan tangisnya. Sementara hujan terus mengguyur makin deras, dan suara bedug maghrib menggema menyadarkan penduduk desa untuk menjalankan kewajiban sebagai hamba.
***
“Kang Mus, apa ini tidak terlalu dalam?” tanya Yu Darni di satu siang.
“Ah…ya enggak Dar, biar awet. Buangan sampah yang kamu injak itu kan baru digali sebulan kemarin,” ujar Kang Mus mencoba membela diri.
“Iya…tapi apa enggak berbahaya untuk anak-anak?” Yu Darni mulai mengungkapkan alasan kekhawatirannya.
“Yaaa enggak to….Toh lubang ini tidak di tengah jalan.”
Perdebatan kedua suami-istri itu berakhir.
“Kang! Aku sarankan lubangnya jangan dibiarkan terbuka seperti itu…Pagari dengan batang ubi kayu …”
“Mbok …wis. Enggak apa-apa. Aman-aman!” Kang Mus tetap keras kepala.

Selepas Asar, Kang Mus, masih memakai peci dan sarung, beridiri di depan lubang galian yang menganga. Tampaknya kang Mus sedang menikmati karyanya yang ia ciptakan hampir penuh setengah hari. Sesekali ia mengukur jarak lubang sampah itu dengan tapak kakinya. Ia berjalan bolak-balik dari halaman rumah batas lalu-lalang orang sampai ke bibir lubang. Ia ingin memastikan tingkat keamanan hasil keringatnya itu.
Dari arah Barat, datang seorang bapak-bapak sebaya dengan Kang Mus.
“Mus…buat apa lubang ini?” tanya orang itu sambil melongok ke dalam galian.
“Eh…Jalil, itu blumbang, tempat buang sampah, kenapa?,” Kang Mus balik bertanya dengan sedikit ketus.
“Wong blumbang kok seperti sumur, buat blumbang itu yang lebar dan jangan terlalu dalam!”
“Lha wong biar awet!”
“Tapi…apa tidak berbahaya?” ujar Jalil.
“Berbahaya kenapa? Toh ini jaraknya cukup jauh dari jalan? Siapa orangnya yang mau jalan terus minggir-minggir ke sini? Kecuali mau kuwalat. Apa mau nabrak pohon-pohon itu?”
Dari dalam rumah, seorang gadis kecil berlari kecil. Kemudian menghampiri Kang Mus. Berpegangan pada lengan kanan bapaknya itu. Kang Mus melihat sebentar pada buah hatinya itu. Mengelus rambutnya yang sepundak. Dan kembali mengambil kuda-kuda untuk memenankan perdebatan kecil itu.
Kang Jalil menyapa sebentar anak tetangganya itu. Lalu kembali mempertahankan pendapatnya.
“Mus…kini aja. Ini cuma saran saja. Sebaiknya jangan biarkan sumur ini….eh…buangan sampah ini terbuka begitu saja. Pagari sebagian dengan pokok kayu ubi. Itu lebih aman. Toh…daunnya bisa dimanfaatkan untuk sayur dan lalap,” Jalil mengakhiri pembicaraan itu, dan meneruskan perjalanannya. Wajahnya tampak sedikit bersungut-sungut.
Kang Mus memang dikenal orang yang keras kepala. Dalam kasus sumur galian sampah ini, Kang Mus tampak selalu pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi cemoohan tetangga pada karyanya itu.
Selepas berlalunya Jalil, Kang Mus mengangkat tubuh mungil itu. Menggendongnya. Setelah kembali mengamati, atau pun mengagumi galian yang menganga di depannya, ia melangkah masuk ke rumah.
Dari dalam rumah, terdengar dialog bapak-anak.
“Pak!…Umi main-main di cumul itu, boleh?”
“Sumul? Itu bukan cumul sayang…itu tempat sampah!”
“Umi enggak boleh main di situ. Kotor dan berbb…” Kang Mus menghentikan nasehat itu. Dalam hati, ia merasa ada kebenaran pada apa yang orang-orang katakan.
“Pokoknya …Umi tidak boleh main di sana. Main di lumah saja. Tama Bapak, Emak. …”
“Tama mas ibang, mbak iloh…tama…,” anak manis itu menyebutkan teman-teman mainnya dengan cedal. Kecedalan yang membuat kedua orang tua mereka terhibur dan mengulum senyum.
Mereka sangat bangga dan bersyukur akhirnya mendapatkan anak, setelah tujuh tahun perkawinan mereka. Itupun setelah mereka ke sana, ke mari mencari nasehat dari orang pinter. Konon, kata salah satu orang pinter itu, Yu Darni memang memiliki bakat ‘kurang-subur’, dan bila suatu saat hamil, maka itulah kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang dua kali. Lima bulan setelah mereka dari orang pinter sekaligus ustadz tersebut, dan melahap habis segala jenis makanan yang dianjurkan, termasuk sepasang kelinci putih sebagai lambang kesuburan, Yu Darni mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan, dan lahirlah bayi perempuan itu.
Yu Darni terlihat begitu bahagia semenjak itu, karena bisa membuktikan pada Kang Mus bahwa ia adalah perempuan sejati. Begitu juga dengan Kang Mus yang selalu memamerkan bayi mungilnya itu pada tetangga dan handai taulannya. Ia kini tidak lagi menyalahkan perempuan yang dikawininya itu, tidak lagi membanding-bandingkan Yu Darni dengan perempuan-perempuan lain, terutama saudara-saudaranya yang punya anak banyak. Rasanya satu anak perempuan memang sudah cukup untuk memuaskan kebahagiaan mereka. Tidak masalah bila apa yang dikatakan oleh orang pinter itu benar Dan setelah Ummi berusia tiga tahunpun, Yu Darni tidak pernah hamil lagi, meski ia tidak meminum apapun, atau memasang apapun untuk mencegah kehamilan. Mungkin memang benar.
***
Selepas dluhur, Ummi terlihat bermain-main dengan teman-temannya. Mereka bermain rumah-rumahan yang dibentuk dengan tanah. Petak-petak segi empat dianggap sebagai rumah-rumah kecil. Keasyikan mereka terpotong oleh hujan yang turun dengan tiba-tiba. Langit yang awalnya cerah segera tertutup awan pekat. Ummi tetap bermain di tengah hujan, meski teman-temannya sudah berhamburan pulang. Anak kecil itu sayang dengan rumah petaknya itu yang lama-lama hilang tersaput oleh derasnya hujan. Dinding-dinding rumah idamannya mulai hilang di sana-sini. Ia celingukan mencari tanah untuk membangun rumah yang lebih kuat. Ia tersenyum saat menyadari bahwa bapaknya telah menyediakan material yang amat banyak untuk mewujudkannya keinginannya. Gundukan tanah di seberang galian itu menjanjikan rumah-rumahan yang tidak akan kalah oleh air hujan.
Tubuh Yu Darni terlihat makin terguncang oleh tangisnya. Tangisnya berhenti sebentar. Lalu tersenyum yang diikuti tawa keras dan lepas. Sementara hujan masih terus mengguyur. Dan malam terus mempererat pelukannya pada hari dengan kegelapan. Kesedihan Yu Darni atas kematian anaknya diperparah dengan kemarahan Kang Mus yang menyalahkan dirinya yang tertidur lelap ketika blumbang itu melahap anak manusia. Tampaknya keluarga Kang Mus pun mengamini hal itu. Sampai akhirnya, Kang Mus pun meninggalkannya. Menceraikan istrinya yang tidak mungkin hamil lagi. Yu Darni kini tidak punya siapa-siapa. Tangisan terenyuh kembali terdengar dari mulut perempuan yang tadi tertawa terbahak-bahak. Sementara tangan dan kakinya terus mencari-cari tangan kecil yang menggapai.
* Dimuat di harian Radar Banyumas (Radarmas Purwokerto)

** Pengajar di Fakultas Sastra, UMP Purwokerto

Story 3


Sayap, Dewi Fortuna dan Ajeng
Shindu VH

Malam hening. Aku gagap. Aku merasa sangat bersalah. Salah yang rasanya tak mungkin terampuni. Dosa yang amat besar. Aku telah ceroboh memainkan sebuah hati yang lembut. Selembut sutera. Aku tak ingin lembaran itu robek sedikitpun. Aku tidak ingin rona-rona di wajahnya hilang. Ingin tetap mempertahankan itu. Kupejamkan mata. Lama sekali. Hehhmmm. Berat sekali pilihan hidup ini. Atau hati ini yang terlalu lemah.
Sayup...sayup dari kamar di belakangku lagu “Kasih Tak Sampai” Padi makin membuat hati tambah merasa berdosa. “Jeng...Maafkan aku! Aku sungguh tidak bisa melepaskan rajutan jala yang ditebarkan Ibu Dewi. Hutang budiku terlampau menumpuk untuk dibalas hanya dengan terima kasih,” ujarku mencoba meminta pengertian Ajeng.
“Enggak bisa...!” makin keras sesenggukkannya.
Aku makin membenamkan wajah tirusnya ke dadaku, takut terdengar oleh teman-teman kosnya. Tangan Ajeng makin erat merangkul pinggangku. Ia betul-betul tidak bisa menerim alasanku. Aku pun menangis. Mengecup bagian atas kepalanya yang menunduk. “Maafkan aku Jeng....aku betul-betul tidak punya pilihan....Maafff,” makin kuat dekapanku. Air mataku pun membasahi kerudung putihnya. Sungguh aku pun tidak ingin kehilangan sosok ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Benih cinta yang dulu kutabur telah mengakar kuat di kalbu ini. Juga di hati Ajeng, aku tahu itu. Tapi...ehmmm. “Allah...,” bisikku dalam hati. “Kuatkan hati kami.”
***
Lulus SMA, aku pun ragu apakah akan melanjutkan sekolah atau tidak. Aku sadar Bapak cuma seorang pedagang kecil. Ia harus keliling ratusan kilometer untuk menjajakan dagangannya. Setiap hari begitu untuk menghidupi kami. Sebuah keluarga besar dengan kelima saudaraku. Apalagi aku adalah anak tertua. Aku tidak bisa egois menuntut Bapak untuk mendukung sekolahku. Sekalipun aku menuntut, apa yang bisa dilakukan Bapak. Emak pun sejak aku SMP sudah mewanti-wanti agar mimpi sekolahku jangan terlalu melambung. “Sar...lihat ke belakangmu...Bapak, adik-adikmu, dan Emakmu ini!” pesan ini selalu diulang-ulang Emak setiap kali aku menyampaikan keinginanku untuk terbang tinggi. Ya...aku ingin seperti Mas Candra putranya Wak Haji, atau Mbak Kinasih putri Mbah Manten. Mereka sekarang jadi pegawai.
:Lain Emak, lain Bapak. Bapak malah membuat aku terus bermimpi. Dialah yang mendorong-dorong, atau bahkan terlalu memaksakan, aku untuk melanjutkan ke SMA. “Le...sayang kalo’ kau hanya lulus SMP thok. Eman-eman ijazahmu itu,” Bapak mulai memasang jurusnya. “Lha wong Lik Karto saja mau membayar satu juta agar si Doli bisa sekolah di SMA itu...” aku pun mulai terpancing. “Koe khan tinggal bledheng, langsung masuk...aku tidak perlu salam tempel.” Memang benar apa yang dikatakannya. Banyak teman-temanku yang terpaksa sekolah jauh, karena tidak diterima di sekolah negeri terdekat. Berbeda dengan anak-anak orang kaya, termasuk Lik Karto yang juragan beras itu, mereka tidak bisa memberikan uang ekstra yang dipatok sekolah bagi para pemain cadangan yang pengin dapat kursi. Berbagai alasan disampaikan pihak sekolah untuk memperoleh dana tambahan dari orang tua yang anaknya kurang pinter. Untuk beli bangkulah, sumbangan pembangunan, tambahan untuk membangun lab komputer, bahkan ada yang beralasan untuk beli kulkas kantor. “Wis Le...sekolah saja! Biar aku, bapakmu ini, pulang agak sore untuk nyari sangu.”
Kalimat itu menjadi awal kenapa aku sekarang duduk di semester akhir. Meskipun tidak mudah untuk hidup jauh dari rumah dengan orang tua yang tidak lagi dapat diharapkan kirimannya. Aku pun menyadari itu sejak aku berpamitan dengan keluarga. “Pak, Mak...besok aku berangkat ke Solo,” ujarku pada dua jiwa yang paling berharga yang termangu di hadapanku. Emak tampak mulai melelehkan air mata. Bapak memandangku dan tetap tersenyum memberiku spirit untuk terus mengepakkan sayap. Indukku percaya sepenuhnya, aku pasti bisa terbang. “Sar...saatnya dirimu terbang sekarang, aku dan Emakmu di sini akan terus mengalunkan restu dan doa...biar resiko apapun bisa kau hadapi,” kata-kata Bapak membuatku betul-betul ingin terbang. “Ketika terpaksa kau jatuh. Berhenti sekejap, ambil napas, kumpulkan tenaga, dan jangan lupa doa pada Sang Perkasa, Dialah yang menentukan jangkauan terbangmu.” Kata-kata Bapak itu berakhir bersamaan dengan kepakan sayapku.
***
Ini mungkin bentuk jatuh dari terbangku. Sayapku terasa patah satu. Aku hampir menyerah untuk terbang kembali. “Bapak...alunkan doamu sekarang....sayapku tidak bisa lagi terbang,” bisiku di sela-sela doa tengah malam. Cobaan ini begitu berat. Sudah satu minggu, aku pontang-panting untuk mendapatkan pinjaman untuk membayar daftar-ulang. Besok adalah hari terakhir. Malam itu aku tidak tidur. Aku berdoa dan terus berpikir. Rasanya semua jalan sudah coba kutempuh. Semua arah sudah coba ku jangkau ....tapi aku tetap belum bisa melepaskan diri dari jeratan ini. Terbangku terasa terbentur dalam ruang tertutup. Gelap dan mengerikan. Haruskah aku gagal sekarang?
Dengan langkah canggung, aku menghadap Bu Dewi, Kabag Keuangan. Aku bertekad untuk terus terang. “Terus kapan kamu bisa bayar itu?” agak lega sudah mendengar pertanyaan itu. Sayapku sedikit kukepakkan. “Tidak tahu Bu, nanti pokoknya kalo’ ada rezeki pasti langsung aku bayarkan!” Bu Dewi memandangku dan tampak tengah berpikir. Dahi tuanya tampak berkerenyit dan pena itu terus diketuk-ketukkan ke meja. “Begini saja, kamu bayar pakai uangku dulu. Tapi ingat...janjimu itu harus kau tepati!” Aku langsung membumbung. Sayap-sayapku terasa begitu perkasa. “Terima kasih, Bu!” aku bersalaman dan ku cium tangannya seiring bisikan syukur di kalbu.
Semenjak itu, aku akrab dengan kelurga Bu Dewi—yang sering kugumamkan sebagai Dewi Fortunaku. Ku kenal semua anak-anak sampai pembantunya. Hutangku akhirnya terbayar hanya dengan mengeles Budi, putranya yang masih duduk di SMP. Aku sering sekali mendapatkan nasehat darinya. Ia sudah tidak beda dengan Bapak dan Emak.
***
Aku makin keras mengepakkan sayap dengan kehadiran Ajeng dalam kehidupanku. Pertemuan tak sengaja di sebuah forum akhirnya mengantarkan berkembangnya makna cinta yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Kehidupanku yang cukup keras membuat aku tidak ingin memikirkan hal lain. Aku tidak ingin mimpiku buyar hanya masalah sepele. Selama ini, jenis aktivitas kehidupan semacam itu memang kuanggap sepele. Hanya membuang waktu. Tapi wajah tirus itu telah membalikkan pandanganku. Matanya selalu menjanjikan harapan. Itulah alasan pertama aku memutuskan untuk mengajaknya bersama-sama terbang, melintasi kehidupan, dan menyelami bayu yang kadang lembut dan sering keras menerpa.
***
Ku duduk terpaku di samping tubuhnya yang tampak begitu lemah. Sesekali ku pijat-pijat tapak kakinya. Berusaha menguatkan hatinya. “Allah...sembuhkan Dewi Fortunaku ini,” doa-doa itu terus liris kubisikkan dalam hati. Jantungnya yang memang sudah lemah itu tidak dapat menahan luapan emosinya. Hatinya guncang dan tidak bisa menerima kenyataan pahit. Pahit sekali bagi hati putih yang terlampau tulus. Aku juga sempat bertanya mengapa dia yang harus menerima cobaan itu. Laras, putri sulungnya, tanpa terduga telah hamil tiga bulan. Sementara, kekasihnya saat ini tengah melanjutkan studinya di Hardvard. Ibu Dewi benar-benar shock, dan langsung lunglai, tergolek di rumah sakit. Beginikah bentuk cobaan sosok yang begitu agung. Kapal besar, badai besar.
“Mas Sar! Mas Sar! Tuh dipanggil Ibu!,” suara Budi langsung membuatku terbangun dari dudukku. Aku langsung melangkah ke kamar No 2 di ruang paviliun itu. Hanya ada Bu Dewi. Tampaknya ada sesuatu yang khusus.
“Sar, kau tahu kan masalah yang dihadapi keluarga kami sekarang.....Kami sudah berpikir mencari jalan terbaik. Dan...akhirnya tertumpu pada belas kasihmu, ketulusanmu, uluran tanganmu...untuk menunda kami dari kubangan masalah ini.”
Terperanjat, aku diam dan tanpa berpikir Aku langsung mengangguk meski lemah.
***
“Sartono Sarjana Kedokteran,” namaku dipanggil untuk masuk ke barisan para wisudawan. Aku mendekap tangan Ajeng, dan mengangguk pada Bapak dan Emak. “Bapak....Emak kuambilkan hadiahku untuk kalian. Bapak...mimpi yang kukejar dengan sayap yang kau berikan kini teraih. Ini berkat do’a Bapak dan Emak.” Betikan-betikan hati itu mengiringiku bangkit berdiri. Aku berbalik ke balkon belakang, tersenyum pada Bu Dewi, Laras dan Mas Herdi, suaminya. Mereka tersenyum dan mengangguk. Aku melangkah dengan setetes air mata haru di sudut kelopak. Tampak horison biru dunia, sementara aku terus mengepakkan sayapku. Menikmati terpaan bayu.

Dukuhwaluh, puasa hari ke-8 Oktober 2004

Story 2


DIRMAN: Takdir Manusia
Khristianto
Sudah lama aku termangu. Menatap kosong ke horison timur. Semakin nyata gelagat sang hari menutup sesi kehidupan ini. Kupegang gelondong besi jembatan yang mulai terlihat rapuh. Kutekan kuat-kuat. Untuk melepaskan berat beban kehidupan yang kini kutanggung. Berat? Tak ada lagi yang harus kutanggung. Hanya diri ini. Ah…ini hanya hiburku. Karena anak-anakku mestinya hari ini masih berhak atas jerih payahku. Mereka masih pantas untuk diperhatikan dan dipenuhi segala apa yang diinginkan. Sekuat yang aku bisa. Wajar kan. Itu memang tugas seorang ayah. Seorang kepala keluarga. Siapa itu? Aku. Dirman. Sejak tadi dialog-dialog itu mengalir dalam pikiranku yang kosong. Melompong tanpa isi. Karena apa yang menjadi harapan-harapanku tampaknya tak mungkin menjadi nyata. Kerapuhan jiwaku dalam melihat dunia seakan membuat jangkau pandangku sempit. Tiada berruang. Sesak tiada kelegaan. Ah…dosa apa aku Tuhan? Inikah kehidupan sempit yang sering dinasehatkan sebagai balasan orang-orang seperti aku?
Kegelapan sudah mengelilingiku, ketika aku memutuskan pulang. Pulang? Bukankah pulang artinya kembali ke rumah. Apa yang sekarang kau tempati ini rumahmu? Bukan. Yach tepatnya bukan pulang. Sudah hampir tiga bulan ini, aku menjadi tanggungan Yu Lastri. Kakak perempuanku. Dia tidak kaya. Hanya cukup. Atau dicukup-cukupkan. Saat ini aku hanya punya dia. Saudara yang masih mau menerimaku. Walaupun awalnya dia juga menyampaikan kalo ia tidak enak dengan Mas Pardi. "Ya….sudah. kalo’ mau tinggal di sini,” akhirnya ia terpaksa memahami keadaanku. “Tapi…Le kamu harus menerima apa adanya. Mbak Yumu ini punya apa?” Aku senang dengan sifat ngemongnya.
“Lho…darimana Dir?”, Sapa MasPardi.
“Biasa! Jembatan Layang,” Jawabku singkat. Aku ingin mengakhiri kontak dengan kakak iparku. Tak ingin lama-lama berhadapan dengan orang yang paling aku pekewuhi di rumah ini. Pengertian Mas Pardilah yang sebenarnya membuat Yu Lastri akhirnya membolehkan aku tinggal di rumahnya. Bagaimanapun Mas Pardi adalah kepala keluarga, dan Yu Lastri hanya tidak mau kalo-kalo suaminya itu tidak ridlo padanya. “Hah, seandainya jodohku dulu, orang seperti Yu Lastri ini….mungkin akan beda ceritanya.”
“Itu makanannya sudah disiapkan. Aku sudah makan tadi. Soalnya keburu lapar,” tawarnya dengan nada begitu tulus. Tidak dibuat-buat. Keluwesan Mas Pardi seperti inilah yang makin menenggelamkan aku dalam lubang kerikuhan. Rikuh dan malu. Seberapapun ikhlasnya dia menerimaku, aku tetap tidak boleh lama-lama tinggal di sini. Entah kemana, pokoknya menemukan tempat baru dan tidak menjadi tanggungan orang lain. “Lebih baik mati aja Dir, kalo’ kamu sebagai seorang laki-laki tidak bisa menjaga martabatmu,” ujar Bapak dulu, yang selalu mengulang-ulang tentang pentingnya martabat dalam kehidupan. “Seperti serdadu Jepang itu. Mereka lebih baik mati ketika harus menyerah pada sekutu. Martabat. Inilah yang mereka junjung tinggi. Sebagai satria.”
Selepas salat Maghrib, aku makan. Sesekali aku melihat ke pintu tengah yang memisahkan meja tempat aku makan dengan ruang depan. Aku selalu makan dengan jingkat-jingkut. Kikuk. Yach…tidak pernah bisa lepas saat makan. Setiap suapan selalu diiringi ketidakenakan posisku sebagai penumpang. Jengah. Untungnya, di rumah sering sepi. Yu Lastri yang sudah hampir 34 tahun menikah dan tidak dikaruniai momongan. Kalau sekarang konon kandungannya sudah kering.
***

Sebagai kepala sekolah SD. Di desa. Aku sangat bangga. Begitupun keluargaku. Si Mbok sangat memanjakanku. Sampai aku tua. Akulah anaknya yang dipandang paling berhasil. Menjadi Bapak Guru. Bahkan sempat dipercaya menjadi kepala BP3 di SMP. Hebat sekali aku. Waktu itu. Entah apa dosaku…hingga aku bisa seperti ini. Suara jengkerik makin melengking mengiringi pikiranku yang mulai melayang. Terlepas dari raga.

Matahari sudah tinggi, ketika tersentak bangun oleh suara gedoran di pintu senthong. DER! DER! DER! DER! DER! Aku gelagapan. Menarik sarungku yang melorot. Duduk. Dan terengah. “BANGUN! Orang kok kerjanya tidur. Apa enggak malu Dir!” Aku bisu. Kerjap-kerjap. Ku geleng-gelengkan kepalaku yang masih menyisakan kantuk.
“DIRMAN!! Mana martabat yang dulu kau sebut-sebut itu?”
“Mana?” “Ini martabat? Martabat sontoloyo!” “Mana serdadu Jepang?”
“Bapak tidak lebih dari benalu! Parasit!” Ocehan Barep menerpa bak mortir menghunjam ke seluruh bagian tubuhku. Tiada yang lolos. Semuanya mengenai sasarannya. Kulihat yang paling parah adalah peluru yang menancap dalam hati. Hatiku remuk redam. Tercacah peluru-peluru tajam. Rasanya aku sudah mati. Aku segera jadi bangkai. Busuk dan menebarkan bau.
Selepas kelelahan menyergap. Barep duduk. Agak terengah. Mungkin agak menyesali kelakuannya itu. Sementara, aku berkemas dan ngeloyor pergi. Yu Lastri hanya menangis kebingungan. Menubrukku untuk menenangkan. Kulepaskan tangannya perlahan. “Maafkan aku Yu! Mas!” Terasa ada air mata yang menggelayut di kelopak. Tapi tak kuhiraukan. Nasehat Mas Pardi yang menghiba tidak mampu lagi menahan tekadku untuk pergi entah kemana. Pergi adalah satu-satunya kata yang ada dalam pikiranku. Aku agak berlari mempercepat langkahku. Aku tidak mau lama-lama menjadi tontonan orang.
****
Malam menebarkan pekat ke setiap sudut yang kupandang, saat tubuhku terasa melayang di udara. Angin malam begitu kencang menimpa tubuhku yang kering. Aku berdiri di atas jalan layang. Kendaraan tampak bersliweran di bawah sana. Aku menatap jauh ke gedung-gedung tinggi di sekelilingku. Haruskah mereka menjadi saksi kelemahan manusia ini. Hati ini terasa tertutup. Tak menemukan tempat untuk berlari. Dunia begitu sempit. Meski sekedar untuk menyandarkan tubuh kurus ini. Napasku terasa sesak. Dada ini terasa begitu ciut. Lenganku makin geram meremas pagar besi jembatan. Ku meloncat berulang-ulang. Sambil terus menimbang. Memang aku tak punya pilihan.
***
Aku tercekat. Bingung saat petugas bank menagih hutang yang belum terbayar. Entah aku gunakan untuk apa uang itu. Aku hanya ingin kebutuhan anak-anakku terpenuhi. Aku juga ingin selalu membuat istriku selalu dalam keadaan bahagia. Dan melayaniku dengan senyum lekat di bibirnya. Selain itu, aku juga ingin selalu menjadi seseorang yang pantas dibanggakan siapapun. Keluarga. Tetangga. Kolega. dan bahkan warga desa.
Kebutuhan segalanya terpenuhi. Aku punya tanah yang cukup luas. Sekarang aku tidak perlu menunggu lama untuk berangkat ke kantor. Ada kendaraan. Anak-anakku bisa sekolah. Bahkan si Barep bisa kuliah di kota pelajar. Satu kebahagiaan yang jarang bisa ditemukan oleh sebuah keluarga di desa kecil. Rasanya inilah…yang dimaksud dengan martabat oleh bapak dulu. Berjuang untuk kehormatan diri dan keluarga. Ini tugas lelaki. Kubisikkan pada bapak, “anak lanangmu sudah jadi serdadu sekarang.” Serdadu yang menang. Yach… MENANG.
Segala cara aku tempuh untuk menutupi kebutuhan keluarga. Hutang sana-sini. Ada yang terbayar, sebagian lain baru separo. Bahkan hutang pada adikku, yang hanya buruh tani, belum terbayar hingga kini. Sampai akhirnya, aku menyikat iuran BP3 yang mestinya ku serahkan pada Mas Soleh, bendahara SMP, tempat anakku yang ketiga bersekolah.
Semenjak itu, Sinta tidak mau lagi berangkat sekolah. Dia merasa malu. Berita tentang pemecatanku dari kepala BP3 yang tercium oleh para siswa membuahkan ejekan-ejekan yang bertubi. Baik dari para guru maupun teman-temannya. Kebanggan pada ayahnya lenyap seketika, berganti benci. Kebencian yang menyentuh langit. Begitupun dengan keluargaku, yang tersisih dari pergaulan tetangga. Hari ke hari selalu menjadi bahan pergunjingan bapak-bapak yang nongkong di pinggir jalan, atau ibu-ibu yang duduk di teras rumah sambil petan., mencari kutu rambut.
****
Aku sempat ragu dengan apa yang aku lakukan. Aku takut neraka. Kisahku akan membebani perjalanan hidup mereka. Hingga mungkin ke cicitku. Jangan-jangan ini menjadi bakat baru dalam tradisi keluarga. Atau mungkin ada mbah buyutku atau mbah-mbah buyutku yang terlebih dahulu mencetuskannya hingga terasa ada impuls yang begitu kuat mendorongku. Bingung? Hakekatnya kamu sekarang sudah mati bersama martabat yang sudah hilang dari dirimu. Iya kan.

***
“Benar Pak Dirman ingin mengajukan pensiun sedini ini?”Aku mengangguk. Aku tak punya jalan lain. “Bapak tolong pikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan yang amat penting ini,” dengan bijak para teman guru menasehatiku. Akhirnya, tepat satu minggu sebelum Barep diwisuda, aku dipensiunkan atas usulanku sendiri. Sebagai satu-satunya cara untuk melunasi utangku dan biaya penyelesaian kuliah anak kebangganku itu.
Kebahagiaan di rumahku atas Barep yang sudah sarjana tidak berlangsung lama. Senyuman istriku dari hari ke hari makin dipaksakan. Dan hilang. Sungkeman Barep yang diungkapkan sebagai rasa terima kasih pada ayahnya pun mulai tiada sisa. Ia mulai resah dengan pekerjaan yang harus ia dapatkan. Ingin kerja? Duit lagi. Dan bahkan tidak sedikit. Adik-adik Barep pun kelabakan. Mereka kini mulai ingin keluar dari sekolah. SPP mereka tidak terbayar. Mereka malu.
Kini keluargaku melampiaskan nasib mereka pada keputusan yang aku ambil. Salah langkah. Harus makan dengan apa sekarang. Teman-temanku pun sudah terlihat bosan dengan masalah-masalah yang sering aku ceritakan pada mereka. Saudara-saudaraku tidak lagi mempercayaiku untuk memberikan sedikit pinjaman sebagai penyangga kehidupan kami. Mereka semakin tidak percaya dengan posisiku yang sudah tidak punya apapun yang diandalkan. Dengan apa kau membayar utangmu.
Des! Des! Brak! Aku terjerembab ke kursi panjang. Bibir dan pelipis terasa perih. Dan perutku mual. Hantaman dan tendangan Barep mengakhiri perang mulut diantara kami. Ia stress berat setelah sekian lama bingung dengan apa ia mendapatkan kerja.Kembali ia mendekati menarika kerah bajuku yang lusuh. Tapi Emaknya dengan berteriak menarik pinggang Barep. Sudah! Rep! Nyebut! Nyebut! Barep ngeloyor keluar rumah dengan mata masih merah dan mendelik.
Bayangan-bayangan masa lalu itu secara kilat memenuhi otakku. Memenuhi kesadaranku. Mata merah dan mendelik itu menjadi kenangan terakhir yang mengiringi jatuhnya tubuhku yang mendarat di atas aspal. Dan teriakan-teriakan Barep, MARTABAT! PARASIT! SERDADU JEPANG! Terngiang keras di telingaku. Bibirku sempat tersenyum dan bergumam …sssatriakh…akhhhh…egkh. Jiwaku melayang di atas dua kendaraan yang sempat menggencet tubuhku. Kepalaku terlihat remuk dengan otaknya muncrat. Tangan dan kakiku patah. Tulang punggungku redam. Jiwaku terbang bersama kumandang adzan Isya yang membuatku menangis. Menyesal.

*Mengajar di Fakultas Sastra Universitas Muhammadiyah purwokerto

Minggu, 14 Desember 2008

Stigmatisasi Sosial dalam Masyarakat Tradisional

It reminds me Lastri a film failed to produce for the social pressure induced by some radical faction in the area in which the movie will be set. It is actually just a romance story occuring in a 'forbidden' period of communism. This set leads the faction to conclude that the movie supports the ideology of the period. And it just goes like the new order precedences of throwing away everything suspected to relate with communism.
What I try to presume here is the mode of traditional society in marginalizing an individual regarded to be the public enemy or "the axis of common jealousy"-the latter will be more appropriate to the phenomenon. The individual in the special axis is usually the one who have a better life than the common people, or the individual with the wealth. The man with such a fortune will be labelled to have a special worshiping to the evil spirit or satan. They usually called it, nyupang.
In time, this labelling is then strengthened by the stories about some magical and mysitical appearances of devils and ghosts. Or someone said that the rich couple practice any ritual to worship the devil, for example in the midnight, the couple was seen wandering around the neigbourhood in nude. In another, there was an incidence that a young man was chased by the satan of the rich. Then, all the calamity will be related to the actions which was rumoured to be done by the individual of the axis.
The belief then becomes the truth for the society. The family of the rich is the victim of the stigmatization--particulary the child. The parents usually warn their children not to play with any family of the rich, not to recieve anything given by them, otherwise, the evil spirit will take them away to dead.
The truth reveals as I grew up. I talked with the victim. He really didn't do anything wrong to the society. What he did to earn is just to be professional. He said that he had a business at the time.It was so lucrative, that in not very long time, he got much profit, and bought some lands in the village. this was followed by the construction of new big house in the strategic location. This real evidence of fortune seems to trigger jealousy, which finally implied in the production of unreal discourse. This black campaign spread so fast, maintained and strengthened by the same feeling of envy shared by the majority. So, it is the way it is...

Kamis, 11 Desember 2008

Abstrak-Penerjemahan Al-Qur'an (Indonesia Vs Melayu)


Al-Qur’an merupakan sumber rujukan suci bagi komunitas muslim di dunia termasuk mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Dari penelitian sebelumnya, penterjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Indonesia memperlihatkan berbagai kekakuan dalam hal kebahasaan. Padahal kekakuan seperti itu cenderung mengurangi keterbacaan sebuah teks, dengan demikian mengganggu pemahaman pembaca sasaran, yakni pemeluk Agama Islam Indonesia, yang ingin memahami firman Allah tersebut. Kemudian timbul pertanyaan apakah kekuan yang sama juga ditemukan dalam Al-Qur’an versi Melayu sebagai bahasa kerabat Bahasa Indonesia?Kajian ini bermaksud membedah penterjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu, yang akan dibandingkan dengan versi bahasa Indonesia, dengan mengacu pada hasil kajian sebelumnya. Penulis hanya akan berfokus pada redudansi dan ketidaktepatan urutan kata. Apakah terjemahan versi Melayu juga menunjukkan fenomena serupa atau sebaliknya dan apakah ciri bahasa yang tidak natural merupakan hal yang lazim dalam penterjemahan kitab suci. Dengan kata lain, ketidakalamiahan terjemahan itu merupakan bentuk penjagaan nilai-nilai kesucian kalimat-kalimat Tuhan, dan bukan sekedar sebuah khilaf dalam melakukan tugas penterjemahan. Kata Kunci: Penerjemahan, Kekakuan, Otoritatif

Rabu, 10 Desember 2008

Quoted Article-Semiotics of Fashion


The Counterfeit Body: Fashion Photography and the Deceptions of Femininity, Sexuality, Authenticity and Self in the 1950s, 60s and 70s

Fashion Photography as Semiotics: Barthes and the Limitations of Classification

Tina Butler, mongabay.comMay 9, 2005

Semiotics, the system of signs asserting meaning by way of language and image, proves to be enormously relevant and valuable when looking at fashion photography as a means of communication. Fashion photography speaks both the reality and illusion of garments and of bodies, and in deconstructing how these elements are organized and presented, a new language and system emerges from the photographic work. Roland Barthes places fashion photography within a semiological framework, applying semiotic structure and rationale to the genre as a system of communication for symbols and signs present within any given image. As fashion photography is positioned within this theoretical schema of meanings, Barthes attempts to contextualize photographs with elements of this framework. Ultimately, his actions in reconfiguring and positioning the genre end in failure, at his own admission, however the process of his analysis is revealing and insightful nonetheless. Fashion speaks a distinct language, whether in the form of a photograph, an individual's personal dress or a passing trend. This language, in turn, emblematizes the essence of its social context. Retrospectively, fashion photography constitutes a historical document that offers us evidence of the practices and ideals of a given period. However, fashion photography is not merely a passive reflection of a period; it serves as a vehicle for circulating new patterns of consumption tied to evolving notions of the self (Radner 128). Further, the images of the form speak the essence of the time. As scholars such as Walter Benjamin, Mary Douglas and Barthes have noted and reinforced, fashion operates as a language, functioning on numerous levels and fashion photography is the medium through which this language is spoken because of its tremendous capacity for mass reproduction and dissemination. Clothing, like any commodity form, is a mode of communication. Douglas notes in her text, The World of Goods, "man needs goods for communicating with others and for making sense of what is going on around him. The two needs are but one, for communication can only be formed in a structured system of meanings" (95). For fashion, clothes speak the identity of the wearer and images of such individuals prompt or provoke discourses about culture and society on the greatest scale. In Caroline Evans's essay "Yesterday's Emblems & Tomorrow's Commodities: The Return in Fashion Imagery Today," the author references many of the ideas and themes present in Barthes's work. In describing the contemporary position and the form it takes in an economic framework, Evans uses semiotic terminology to construct her argument, asserting that the garment now circulates in a contemporary economy as part of a network of signs, where the actual garment is a sign itself. From its existence primarily as an object, the fashion commodity has evolved into a mutant form with the capacity to insert itself into a wider network of signs, operating simultaneously in many registers. Whereas it used to exist as, for example, a dress, which preceded its single representation in the form of an advertisement or fashion photo, it is now frequently disembodied and deterritorialized. As such, it can proliferate in many more forms, within a larger network of relations. (96) Garments, through the lens of fashion photography, have come to mean more than just their function. Operating within this network of symbolic language and meaning, fashion photography has come to speak a more profound and diverse reality. Fashion's inherent dynamism and pervasiveness highlights its continued relevance beyond a purely aesthetic and decorative function. Supporting this statement of fashion's greater purpose and role in culture, Finkelstein notes how Barthes retains a metaphor of the semiotic system, however Barthes recognizes the fluidity and ambiguities inherent in the structure of fashionable appearance that force its codes to remain open-ended (25). Davis also references this more transient quality of the medium, writing, For other things being equal and regardless of the ‘message' a new fashion sends, merely to be ‘in fashion' is to be one up on those who are not as yet. From this perspective, assumed by Barthes, all fashion, irrespective of the symbolic content that animates one or another manifestation of it, gravitates toward ‘designification' or the destruction of meaning. That it is to say, because it feeds on itself (on its ability to induce others to follow the fashion ‘regardless') it soon neutralizes or sterilizes whatever significance its signifiers had before becoming objects of fashion. (72) Fashion's almost parasitic behavior maintains its problematic position and character of contradiction. Barnard notes that Barthes wrote, "Fashion is both too serious and too frivolous at the same time" (94). Exploring the fashion system in his seminal text by the same name, Barthes embarks on an in-depth semiotic analysis of the codes, subtexts and languages of dress and the self and attempts to reconcile the schism within the form, in terms of its opposing and divergent qualities. He gives fashion a stature, naming it "the dream of identity" (254) and dedicates much time to the nature of fashion in culture and the meanings it communicates. Baudrillard later concurs in the characterization that fashion is elemental of the ‘dream world,' constituting in part, "a dimension of reality constructed from images" (Finkelstein 81). Barthes seems at odds with his study of the language of fashion and quickly becomes entangled in his deconstruction. Barnard writes of Barthes's attempt, Anyone who has been tempted to look into The Fashion System will be aware that it is not the easiest reading. Moreover, it must be admitted at the outset that the work has been almost universally written off, even by Barthes himself, as a semiological disaster. (92) The text remains largely impenetrable and convoluted and offers proof of fashion's complexity. Even Barthes, engaging in an in-depth analysis of fashion as a semiotic system, struggles with the inherent contradictions of the form. This difficulty highlights the non-simplistic quality of the form, and refutes the previous dismissals of scholars against it. The one thing that is made clear is that fashion possesses the capacity to communicate, speak a specific language. What remains unclear is what exactly is said or meant by it. Barthes, and later, the postmodern theorist, Jean Baudrillard, seem to be alternately "bemused and outraged by fashion's alleged displacement in the modern era of ‘the real' (Davis 195). In his examination, Barthes focuses on the written fashion text rather than the real garment or its pictorial representation. He maintains, "written clothing is unencumbered by any parasitic function and entails no vague temporality" (Entwistle 68). This mode of fashion is the most accessible to him and yet, still he fails. Barthes writes specifically of fashion photography in The Fashion System, Increasingly, the magazine substitutes a garment-in-action for the inert presentation of the signifier…Actually, and this is what is strangest about Fashion Photography, it is the woman who is "in-action," not the garment; by a curious, entirely unreal distortion, the woman is caught at the climax of a movement, but the garment she wears remains motionless. (302) This stasis, this state bereft of movement, feeling and reality has transferred to the present conditions of fashion photography. Like the garments in these images, modern creativity seems to be frozen in time. The only movement that exists occurs in current photographers' increasingly desperate stabs at presenting something new, however this manifests as its opposite. Fashion photography today resembles either cartoons or recycled and feeble clichés of prior photographic styles, modes, and conventions.


Fashion photography, with its far-reaching historical scope, possesses and incorporates elements of both modernity and postmodernity. Linking fashion's simultaneously modern and postmodern elements seems to be a somewhat contradictory act, yet Jameson reconciles this gap created from relating different periods, suggesting, "modernist styles…become postmodern codes" (Barnard 163). Barnard continues, "What modernity recognized as characterized styles, postmodernity sees an endless parade of difference, [and] ‘irrational eclecticism'" (Ibid.). Theorists Frederic Jameson and Jean Baudrillard offer two of the most directed and in-depth examinations of the genre and fashion more generally with postmodernist representations with theorists' adaptation and application of their ideas. Fashion's innate contradictions render it the most perfect and imperfect element in the postmodern schema. Fashion is about expressing individuality and perpetuating conformity, timelessness and obsolescence, form and function. Like the medium itself, discourse pertaining specifically to fashion is conflicted and often contradictory. Finkelstein suggests that the contradictions specific to fashion photography are the reasons the form warrants study. When [Jameson] characterizes the modern sensibility as archetypally schizoid because of its powers to compress and to make sense of contradictory images and distorted temporal frames, he could be describing the contemporary fashion habitué. The contradictions expressed through fashion seem to parallel the disturbances, disjunctions and conflicts found in the everyday world. Jameson's modern individual harbors an anarchic, fragmented and protean self, which makes the pursuit of fashion seem a reasonable and potentially satisfying impulse. (3,4) Jameson's viewpoint and analysis of the genre as interpreted by the author gives its study a kind of merit and credence. Fashion's contradictions are reconciled, at least in theory, by their relationship and similarities to the fractured and sense of dispersal within the postmodern self and existence. As postmodern entities, fashion and fashion photography have license to oppose themselves. Returning to the topic of opposition, Finkelstein further emphasizes fashion's contradictory elements and synchs them with culture, writing, Fashion is often considered one of those social forces which keeps us ever attentive to the present in one of the worst possible ways, that is, as a source of novelty, distraction and self-absorption. Fashion, and this is in relation to material terms, such as clothing as well as ideas and practices—seems to be about individuality, about standing out in the crowd. It seems to be about change, the constant unraveling of the new and the display of the inventive. But often its effect is the reverse: it maintains the status quo and encourages conformity and uniformity. On closer examination, fashion is about turbulence and creating a sense of movement without pointing in any direction. (4,5) In addition to fashion's supposed frivolity, wasteful impermanence, and fixation on wealth, the fact that it lacks a real fixed and definable point of origin, renders its study even more difficult. In this absence, fashion creates one for itself by borrowing from history. Pastiche and appropriation ironically give the form meaning by removing the original meaning from taking elements out of context. The residual meaning from the appropriated object or circumstance carries over. Fashion creates its own history, one more dedicated to decoration than chronology, blind to context and grounded meaning. A. Rosen cited in Nathalie Khan's essay, "Catwalk Politics," supports this notion and highlights yet another one of fashion photography's caustic contradictions, writing, Art is all about permanency and fashion is all about the moment. Perhaps the art world's fascination with fashion is a recognition of fashion's ability to address everyday influence instead of the obsession with the heroics of creating history. (116) And yet, fashion is indeed obsessed with grounding itself within a sense of history, while at the same time, the form undermines itself with its non-linear or chronological sampling of past styles. Here, fashion assumes its classic transient characterization. Khan takes a more direct and concrete position on the shortcomings of the influence and inability to secure and establish a profound sense of historicity, writing,


If fashion can do little more than reflect upon that which is current, it simply confirms that any message it purports to forward will remain without meaning. Fashion can therefore only promote a particular set of values if those values reflect current trends. Constituted thus, fashion can reflect, but it cannot renew society. And if the fickle nature of fashion prevents it from creating history, then why should one see its message as being of cultural or social significance?" (Ibid.). For fashion, history becomes fetish, a mere record to track trends and extract them at necessary intervals. This displacing quality of fashion photography at once justifies and recognizes history and its importance by referencing it, while at the same time, denying it with the removal of certain aesthetics from their contexts and placement in an entirely unrelated mode. Trends rarely emerge out of necessity or circumstance in the contemporary era. Fashion photography lays claim to history by plundering and refashioning elements of it as ambivalent and uninformed types of decoration for the body. The form creates a sense of nostalgia for styles now present that are completely divorced from their roots. Where fashion lacks an authentic history, it instead has a locating quality of modernity. As a person's particular dress signals the properties of their own distinct personal taste and identity and as "individuality seems synonymous with modernity," fashion, individuality and modernity are all inextricably linked (Finkelstein 37). Rebecca Arnold recognizes this compensatory maneuver by fashion to create some kind of foundation for itself, even though ultimately, this is achieved through pastiche and appropriation. She writes in her book, Fashion, Desire and Anxiety: Image and Morality in the 20th Century, Under the rubric of modernity, the emphasis given to individualism has become constitutive of all social practices. Fashion is implicated in these practices because [pastiche has become] a major motif; designers [are] increasingly looking to the past for inspiration, not just for styles, but also for references to, for example, to Hollywood icons, to provide their collections with instantly recognizable glamour. (107) The relationship between fashion and film and referentiality is presented here as less than symbiotic. This same practice of gleaning style inspiration from the past has long been present in fashion advertising. Editorial spreads serve as nostalgic stages for recreating famous scenes from classic films or for models to pose as certain notable and prized personas from history. Fashion feeds on grounded and static images for material, and yet seeks to create a quality of perpetual transformation and reinvention. The industry operates on constant visual instability and alteration, amid essentially rampant derivation. Fashion's unsteadiness that manifests in fashion photography complements society's nature of what is at once the spectacle in transition, and at the same time, a traditional framework stuck on repeat. Bruzzi and Gibson address some of fashion's additional discordant prejudices, writing, Part of the perceived problem of fashion has been that academics in particular have not always known with what tone to approach and write about it—it's too trivial to theorize, too serious to ignore…fashion's fundamental dilemma is that it has inevitably been predicated upon change, obsolescence, adornment and, in the so-called First World, it has been inextricably bound up with the commercial; this has led to the assumption that it is therefore superficial, narcissistic and wasteful. (2) Fiona Anderson further supports this viewpoint, asserting in her essay, "Museums as Fashion Media," "Fashion is surely the fastest changing source of new ideas in contemporary visual culture" (372). Adorno asserts, "Fashion enthrones itself as something lasting and thus sacrifices the dignity of fashion, its transience" (121 Davis). All of these elements that speak opposites about the same form contribute to the case for fashion photography being a postmodern embodiment. Fashion's innate contradictions render its validation for study more difficult. Gibson, writing in 2000, discusses the difficulties of presenting her case of fashion being an area worthy of academic pursuit, claiming that fashion has only been established as a serious academic discipline and as an important area of theoretical debate in the last decade. The reasons she lists for this case include, [The] centuries-old belief in the essential frivolity of fashion, reinforced by the puritanism of many on the left, for whom fashion is the most obvious and…objectionable form of commodity fetishism, and the conviction of the majority of second –wave feminists that fashion is an arena in which women…display themselves in order to gratify male desire. (36) Further supporting the general consensus of previous academics against viewing fashion as a serious element of culture, Noel McLaughlin writes in his essay, "Rock, Fashion and Performativity," "[There] has been a reticence to consider the significance and pleasures of costume" (264). The general sense of uneasiness and unsteadiness that pervades fashion and fashion photography only serves to further reveal the forms as truly postmodern entities. They are conflicting and messy collages of history and experience. Arnold re-emphasizes the disparate quality of fashion, writing, "Fashion is inherently contradictory, revealing both out desires and anxieties and constantly pushing at the boundaries of acceptability" (xiv.). Even while looking at fashion through the lens of postmodernism, Baudrillard remains a harsh critic of fashion and its effects on the simultaneous blanching and corrupting of culture and societal mores. Crediting fashion with being wasteful and futile, he writes, as quoted by Entwistle, [Fashion] fabricates the ‘beautiful' on the basis of a radical denial of beauty, by reducing beauty to the logical equivalent of ugliness. It can impose the most eccentric, dysfunctional, ridiculous traits as eminently distinctive. This is where it triumphs—imposing and legitimating the irrational according to a logic deeper than that of rationality. (61) Part of his hostility toward the medium seems to stem from his positioning of fashion as an independent entity; Baudrillard differs from other theorists on the topic of fashion with his removal of fashion from the social sphere. He claims that fashion stands on its own, distinct from social influence, and perpetuates and recycles its own values, standards and styles, while infecting society with its own impure influence. While many have argued the opposite, that particular fashions indeed reflect values, beliefs, attitudes and aspirations of the social landscape in direct ways, Baudrillard maintains his minority position. According to Finkelstein, he argues that fashion does not mirror its social context, and rather, "[it] speculates on the recurrence of forms on the basis of their death and stockpiling, like signs in an a-temporal reserve. Fashion cobbles together, from one year to the next, what "has been," exercising an enormous combinatory freedom" (33). Baudrillard's assertions are a hard sell given the amount and convincing nature of evidence pointing the other way. Finkelstein, for example, wisely declares, "Fashion is a mode of social exchange and, like other social discourses, its function is ultimately to maintain cultural continuity" (66). She may not credit fashion with creativity per se, but Finkelstein does name it as having an active exchange with culture. Returning to Baudrillard, he seems to later contradict himself, compromising his already isolating and insulated viewpoint. He writes, Fashion represents what can least be explained: actually, the obligation that it presents of a renewal of signs, its continual production of apparently arbitrary meaning, its thrusting of meaning, the logical mystery of its cycle in reality—these all represent the essence of social moment. (Ibid.) In this statement, Baudrillard links fashion inextricably to society. Weakening his initial debasement of fashion as an area unworthy of scholarly focus is his own lingering focus on the topic. Further still, he emphasizes the importance of the possession of aesthetic objects, in which fashion must be included. Relating fashion's ultimately commercial and thus economic properties and function, Baudrillard recognizes the conflation of the origin versus the effects of fashion. It is a business enterprise with a visual and decorative manifestation. Seeing a continuity, ‘between the urge to consume and the disappointment of possession…. Baudrillard understands the desire to extract aesthetic satisfactions from everyday life since, without such pleasures, it can be a grinding monotony. (Finkelstein 75). He writes, "objects, and the needs that they imply, exist precisely in order to resolve the anguish of not knowing what one wants" (Ibid. 100). While the very essence of fashion and the practice of keeping with it, seems to defy logic, the necessity of this irrationality is overpowering and ultimately deeper than pure visual fetish of fashion objects. It is about constructing and presenting an idealized identity to society. Fashion, through fashion photography, speaks a version of a social reality that cannot be denied. There is a dual exchange at work as fashion photography reinvents and reinvigorates the elements and directions of culture. Functioning as a mirror, Khan notes that in late 20th century fashion, the wider social landscape is reflected in the styles and trends of specific periods. Fashion's relationship with society is undeniable. With this in mind, the question must be posed: is fashion and its medium of representation a ravager or benefactor or culture (Davis 194)? Davis claims fashion's influence on culture cannot be disputed, but inquires whether or not its impression has been formative or destructive. He asserts, "Typically, fashion is charged with furthering the superficial and spurious while undermining the substantial and genuine. (The role of villain in this baleful plot is usually assigned to the mass media, TV in particular)" (Ibid.). This statement is a clear nod to back to Adorno and his critique of the culture industry and the modes of mass reproduction and distribution. Fashion, through the lens of photography, has shown remarkable diversity and innovation in the formative years of style and popularity. However in the most recently passed decades, photographic construction and modes have become far too derivative of the previously defined periods to be deemed new, original or provocative. Fashion, thus, has become increasingly irrelevant in all arenas, and postmodern in the worst sense.


Taken from
http://news.mongabay.com/2005/0507c-tina_butler.html
12/11/2008

Artikel-Child's Suffering in Oliver Twist


The Harshness of New Industrial System in Charles Dickens’ Oliver Twist
Widya Nirmalawati
Muhammadiyah University of Purwokerto

Introduction
In the Mid Victorian era, England sat on top of the world, and there were many reasons for it (Mc Kay, et al, 1983:766). One of which is the awareness of science and technology, which made England have enormous lead overall countries in the development of industry. This condition, as well changed England not only in science and technology but also in social relations, economics, and even in political institutions. A new group of industrial capitalist and the workers arose. As a result, the poor get poorer. There is no doubt that Industrial Revolution brought riches and power to Great Britain. At the same time, it also brought great evils with it (Seaman, 1954:51). Many social problems are endemic i.e. poverty, crime, and personal demoralization.
He further explains that the evils of the factory system also gave miseries to their house conditions. It is said that the houses in which the new factory hands lived were built very quickly and very cheaply. The result of this was the disfigurement of huge areas of the north of England by rows and rows of crowded, badly built and unhealthy dwellings, not all of which have disappeared even yet.
Literature is also said to be influenced by these chaotic conditions. It is said that literature in the Victorian Age was characterized by a definite purpose to sweep away error and to reveal the underlying truth of human life (Moody, 1943:295). One of the novel as stated by Hawkins (2001) describes the passage describing London, especially the miserably poor part of London in the 1830-s is Charles Dickens’ Oliver Twist. Lloyd (1959:118) confirms that anyone who reads Oliver Twist will see something of the worst side of industrial development.
Considering the historical background and the work of Charles Dickens’ Oliver Twist, this study attempts to discuss the social cultural conditions of the poor caused by the harshness of the new industrial development. As additional information, briefly, this paper describes the consequences of new industrial which took the poor further away from a world in which they were comfortable and brought them into the conditions which were almost too complex to solve.

Social Problems Caused by the New Industrial System
Industrial Revolution, indeed, brings England both wealth and power. However, it also brings many consequences in the life of the society. In short, the industrial system has already changed the structure of society. It created new social relation and problems as seen in the rise of a new group of factory owners and industrial capitalist. Mc Kay, et al (1983:782) stated that the condition of English workers in Industrial Revolution has always generated the most controversy among historians since England was the first country to industrialize and because social consequences seem harshest there. As factories grew larger, the rich got richer. On the other hand, the condition of workers got worse.
This condition was understandable since most profit had to go back in the business for new and better machinery. As a result, the workers got very small wages that led them to live in poverty. The poor, who were mostly exile from village and could not find a job, had to force themselves in any possible way with the all the capacity they possessed to keep themselves and the families away from dying of starvation. Then, becoming beggars and pick pockets was their solution to stay alive. Poverty had led them to be criminals. In brief, criminals were the product of poverty and hunger. Towns and cities became more crowded and filthier than before. Due to these, parents who could not support their families, put their children in the local orphanages. In these orphanages, parents were expected that their children would be taken care with sufficient food.
However, in fact, these orphanages only gave them suffering rather than comfort. They were exploited and maltreated by the master of the orphanages. Their condition got even worse when they were sent to factories to be laborers. They were given very little pay and often badly treated and terribly overworked in the mills (Mc Kay, et al, 1983:761). For this issue, Mc Kay confirms that people were reluctant to work in factories; this because factory owners turned to young children as a source to labor partly because they could employ them for very little pay. Moreover, exploitation of child labor in factories, gas work, shipyards, shoe makers, construction, chimney sweeping was taken as a business. Here is a part of a dialogue with Mr. John Moss, a governor of the workhouse (Tierney, et al, 1967:179-182):
What were the hours of work? -From five o’clock in the morning till eight at night.
Were fifteen hours in the day the regular hours of work? -Those were their regular hours of work.
Was that regular time all the year through? -Yes
It is clearly that the poor and abandoned children were the exact objects for the factory owners to gain more profit. From the text above, cruel exploitation upon abandoned children at that time was absolutely bad: hours were long, wages low, bad working conditions. The impact of this exploitation towards children cannot be avoided, especially to the children’s health since the bony system was still imperfect.
Gaskell (2001) further shows how miserable the children life was.
Factory labour is a species of work, in some respects singularly unfitted for children. Cooped up in heated atmosphere, debarred the necessary exercise, remaining in one position for a series of hours, one set or system of muscles alone called into activity, it cannot be wondered at, that its effects are injurious to the physical growth of a child.
William Blake in Mc Kay, et al, (1983:782) called the early factories “Satanic Mills” and protested against the hard life of the destruction of the rural way of life and the pollution of the land and water. Friederich Engels also criticizes,” I Charge the English middle classes with mass murder, wholesale robbery, and all other crimes in calendar” (Handerson and Chaloner, 1968:xxiii).
The depictions above have shown that Industrial Revolution indeed not only brought England both wealth and power but the evil of the factory system also gave the long run consequences that cannot be ignored on the lives of the society. The transition to an industrial economy has exacted a cruel price in terms of human suffering upon a great number of people.

Poverty as Reflected in Charles Dicken’s Oliver Twist
From the very beginning, Charles Dickens brings his readers to a world stricken by poverty since the poor are in the worst possible condition of poverty. One of the main factors is over population in cities caused by the urbanization. It is because their own villages became the victims of industrialization. With the faint hope of finding jobs in big factories they exiled to big cities. The effect of new urban settlement was overpopulation that created social unrest. It creates not only hunger but also a multiple social problems. In Oliver Twist, Dickens reflects poverty in England especially in London as an impact of the Industrial Revolution. The aspects discuss mainly deals with the situation in town related to the problem of housing, health, clothing, hunger and orphanage.

Housing A house is one of the human basic needs. It is not only the place to live in but also a place for the protection against the climate. Furthermore, a nice atmosphere of the house, indirectly, influences the personality of people who live in it. Normally, people who live in a house with a pleasant atmosphere have a good personality, although there are exceptions to the rule. A house is also very important to create the feeling of security and harmony in the family. For poor people since they cannot afford to buy a good house, they only rent a cheap, old and sometimes a decaying one (p.35).
These conditions are unavoidable because the factories where people work only gave them very small wages. Those who did not have a job build a den which did, of course, not deserve to be called as a house in which they live did not support a feeling of security and harmony of the inhabitants. Dickens even describes those dens in an extremely awfully condition. Moreover, he refers to them as filthy kennel so that it is questionable whether their inhabitants could maintain proper health, “The kennel was stagnant and filthy. The very rats, which were here and there lay putrefying in its rottenness, were hideous with famine” ( p.35).
What a tragic case it was, the poor built houses in an unhealthy environment of slum and filth area where rats lay here and there. They forced themselves to live in such a condition since a house at least could protect them against the harsh climate in wintertime when it is extremely cold. Dickens illustrated this novel that it was piercing cold and the atmosphere was gloomy and black (p.156). It was winter, but the poor did not have proper house to live in. In contrast, the rich people stayed in a big warm house with a beautiful fireplace in it.
Bleak, dark, and piercing cold, it was a night for the well-housed and fed to draw round the bright fire and thank God they were at home; and for the homeless, starving wretch to lay him down and die (p.165).
Here, Dickens brings his readers to see the real condition of the poor people, which is undebatably in an awfully condition. He wants to show that poor people were indeed in a very bad condition. They lived in absolutely poverty and lived in filth as they could not fulfill one of the basic needs to acquire a proper house.

Hunger. Food is necessitated to keep human being alive, especially those who live in areas with four climates. In winter time people must have sufficient food to keep them warm, without which they will miserable. Dickens captures this condition into his novel where they live in hunger with the extreme worst condition of dying from starvation (p.36). From the portrayal above, we can see that huger causes death if it was not met by good response. In a trying time like that children were sent to orphanage, since their parents could not support them any longer. In fact, rather being fat they were cruelly mistreated and starved to death. Cruel mistreatment of children in the orphanage seems to be prevalent during those days, and Dickens even shows instances of this.
Oliver Twist and his companions suffered the tortures of slow starvation for three months: at last they got so voracious and wild wit hunger …that unless he had another basin of gruel per diem, he was afraid he might some night happen to eat the boy who slept next him. (p.12)
A small bowl of gruel is good for children who are dieting, meanwhile, when children are in the growing period, it is normal when they have an excellent appetite to support their growth. They were totally desperate with hunger until they were afraid of eating each other if hey were not given some more food. What a gruesome impact of hunger it is, when the children become beasts rather than human if they are extremely hungry.

Clothing. Another human’s basic need is clothing, which should be fulfilled by al human beings. It is not only for covering the body, but also protects the body against the climate. However, to those who live under the poverty line, the old and torn ones are supposed to be enough. As long as it can cover their body, it is considered to be sufficient for them. Even the poor infants, in this case Oliver, an old yellow rag was prepared and wrapped around Oliver when he was just born in the workhouse.
What an excellent example of the power of dress, young Oliver Twist was! Wrapped in the blanket which had hitherto formed his only covering…that he was enveloped in the old calico robes which had grown yellow in the same service. (p.3)

A newly born-infant, indeed, needs a warm comfortable clothing since he still cannot adapt himself to the weather directly. But what had happened to the infant in the orphanage, an old blanket which had turned to yellow is all he had.

Health. So far the discussion has been focused on poverty because the condition of poor people in England especially poor children at that time was thoroughly bad. The cause that may be directly connected with their bad conditions is that they did not have enough money to support themselves and their family. This is reflected in their house, meal and clothing which were far below the standards. All of these, of course, affected their health condition especially those who had inadequate food.
The child was pale and thin; his cheeks were sunken; and his eyes large and bright. The scanty parish dress, the livery of his misery hung loosely on his feeble body; and his young limbs had wasted away, like those of an old man. (p.121)
Here, Dickens described Dick, a friend of Oliver in the workhouse where they were beaten and starved by the workhouse master, a s an example of poor children’s condition at that time. He shows that insufficient food made them lose weight and became very pale. The more so, they lived in slum which became an additional threat to health. Many diseases are endemic, but mostly they are connected with the problem of hunger. These conditions run to extreme when poor people mostly die because of starvation. “I say she was starved to death. I never know how bad she was, till fever come upon her; and then her bones were starting through the skin. There was neither fire nor candle; she died in the dark!-in the dark! (p.36)”
That she died in the dark indicates the very poor condition of the house in which there is no ventilation, and such a house is not adequate to support health. Bad housing with its poor facilities- bathing, toilets, kitchen, and also ventilation, creates many diseases, take for instance, skin disease, tuberculosis, etc. From the fact above, it can be concluded that inadequate food and poor housing with its poor facilities are direct factors that are hazardous for health.

Orphanage. It cannot be avoided that the prevalence of poverty will produce many social problems: housing, health, starvation, education and crime. It is because poor people or the immigrants themselves are badly prepared for the new way of life related to the newly developed industrial system. Unemployment and street children become rampant. One solution to this problem can be achieved by providing social care, such as workhouses and orphanages for the poor and abandoned children who used to be street children. This social care also helps the government to control the poor. Kaste (1965:8) further stated:
A new concept was adopted to deal with the vexing issue of pauperism. The Poor Law of 1834 provided that all able-bodied paupers must reside in workhouse. This plan was successful from one standpoint, for within three years the cost of poor relief was reduced by over one-third.
However, this concept was taking them away from a world in which they were comfortable, since this system brings them into starvation, instead. This is illustrated by Dickens when the inmates of the workhouse became the victim of the Poor Law. They were suffering from hunger since they only got only smallest portion of food from Mrs. Mann the matron of the workhouse. She was the of the opinion that providing the children with the smallest portion of the weakest possible food (p.5) was the best policy in handling the children, whereas she regarded herself as needing the biggest portion of food.
Following Mrs. Mann’s system, Dickens considers that the inmates of the workhouse become the victims of social injustice because he sees corruption deliberately done by Mrs. Mann. She let poor orphan suffer from hunger, on the other hand she lived in prosperity. Dickens then mocked her in his ironical statement that the elderly female was a woman of wisdom and experience; she knew what was good for herself. The unfortunate orphans not only suffered from hunger but they were also exploited by the workhouse authorities. They should work for the workhouse and receive only seven pence-halfpenny per small head per weak (p.4).
…that Oliver should be ‘farmed’, or, in other words, that he should dispatched to a branch-workhouse some three miles off, where twenty or thirty other juvenile offenders against the poor-laws, rolled about the floor al day, without the inconvenience of too much food or too much clothing, under the parental superintendence of an elderly female, who received the culprits at and for the consideration of seven pence-halfpenny per small head per week. (p.4)
From the quotation above, it can be seen that the poor orphans in orphanages were cruelly maltreated. They were forced to work with very low wages, less food and clothes. They were absolutely exploited. Dickens then, shows this exploitation and puts them into his novel. He, indirectly, wants to promote reform and simultaneously eliminate the abuses and malpractices in the orphanages. The orphanages which were at first intended to help the poor children, in practice they were used by the administrator of the workhouse where they committed corruption.

Various Life Attitudes of People at that Time
Long standing starvation and social injustice towards the poor led them to every possible way in order to protect themselves and their family away from starvation. These impoverishing conditions forced the slum inhabitants to become beggars. In the meantime, they had to satisfy their basic need i.e. to have food to keep themselves and their families alive by begging, they were sent to prison.” I begged for her in the streets; and they sent me in the prison. When I came back, she was dying; and all the blood in my heart dried up, for they starved to death (p.36). He then illustrates the ironical situation as Oliver and his friends’ companions suffered the tortures and slow starvation. On the contrary, the workhouse were fat and healthy (p.12) when the donation was actually intended for the orphans and not for the masters.
This indicates that the master had sufficient food although hunger was a major threat for the orphans. It clearly shows that poverty, in effect, degrades someone’s moral and makes one lose his sense of humanity. While other desperate of fulfilling their need, the rich are busy of fulfilling their greed. From this standpoint, it becomes clear how poverty affects society very badly, even the rich ones since naturally men carry two different sides: good and bad. When an unpleasant thing comes over them, mostly they intend to do the bad things. It means that the bad side is more dominant than the good ones. This also make one become apathetic about other suffering. They will do anything to survive from hunger. Even becoming criminals is another solution for them.
The viler consequences of this is when the poor are out of the necessity and become acquainted with crime, and the worst is that when they really become criminal and join an organization for the criminals which in modern term is called: a Mafia. Later, in Oliver Twist, Dickens also described that at that time gangs of criminals was so widespread. There was one notorious gang of criminals which was led by Fagin. To the poor and abandoned children Fagin was a Godfather. This was felt by one of his member, Jack Dawkins or The Artful dodger as he offered Oliver to join Fagin’s gang. He told Oliver that Fagin would provide free lodging for the homeless especially poor children.
‘I’ve got to be in London to-night; and I know a’ specable old genelman as lives there, wot’ll give you lodgings for nothink, and never ask for the change- that is, if any genelman, he knows interduces you. (p.54) “Offering you something for nothing and never ask for change” (p.54)

are generally, the Mafia’s most effective reasons to exploit and create a good image to the poor for they are homeless and powerless. Dickens also gives a vivid portrayal that poverty, indeed, robbed her childhood and youth. He describes Nancy, one of Fagin’s members, she exploited by Fagin, since she was child. Fagin also made her old in the experience of evil in the underworld criminal which is, of course, a tragic existence for the unfortunate girl, “It is my living; and the cold, wet, dirty street are my home; and you’re the wretch that drove me to them long ago, and that’ll keep me there, day and night, day and night, till I die!” (p.116).
The underworld criminals also give the author a chance to show the ugly realities of human nature. It was when they were happy of hunting poor Oliver without knowing what actually happened by crying out, ‘Stop thief! Stop thief!’ and people were chasing him. There was a passion for hunting something deeply implanted in the human breast (p.67). This chance is used by the author to show the true criminal morality at work. After The Dodger and Master Bates thieved the man, both of them were running away at full speed to the corner since they did not want to attract public attention. When they saw Oliver run of seeing their mode of work, these two boys, then roared and shouted behind him to provoke others as if Oliver was real thief.
They no sooner heard the cry, and saw Oliver running, than, guessing exactly how the matter stood, they issued forth with great promptitude; and, shouting ‘Stop thief!’ too, join in the pursuit like good citizens. (p.66)
The immediate effect of poverty as it has been stated above, indeed, changed the life attitude of the people. Begging in the street and becoming a street musician, then, is an alternative legal way of earning money and the worst feature of this is when becoming criminals is a common thing. Here, it becomes clear that the bad impact of the Industrial Revolution is the price that should be paid in terms of suffering and demoralization when they come to the deadly environment of the under world criminal.

Conclusion
From the findings and discussion, it can be seen that Charles Dickens’ Oliver Twist clearly depicts the socio-cultural conditions portrayed during the Industrial Revolution. Dickens describes this social conditions related to the problems of housing, health, clothing, meal, and orphanage. He depicts all these things since the conditions of the poor at that time were very awful.
The more so was the conditions of the poor and unfortunate orphans. They were beaten and tortured by their supervisors. With the immense popularity of his novel, Dickens satirically and effectively criticizes the atrocious situations during the Industrial Revolution in England. It is clear that in Industrial Revolution, the poor became the victims of the rapidly changing social conditions since they did not have the resources for defense. This was very sad condition. However, the Industrial Revolution in England can be taken as a good example and lesson for serious considerations when other countries are administering an Industrial Revolution.

References
Barnard, Robert. 1984. A Short History of English Literature. Norway: Basil Blackwell.
Chesterton, G.K (Eds.).1992. Oliver Twist. London: Everyman’s Library.
Cody, David. 2001. Child Labor, (Online), (http:// landow.stg.brown.edu/victorian/ history/ hist 8. html, diakses 7 September 2001).
Easton, Stewart C. 1996. The Western Heritage (from the earliest times to the present). New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Fielden, John. 2001. The Curse of the Factory System, (Online), (http: // 65. 107. 211. 206/ victorian/ history/ worker 2. html, diakses 6 Mei 2001).
Gaskel, P. 1833. The Manufacturing Population of England, (Online), (http: // 65.107.211.206/ Victorian/ history/ worker 2, html, diakses 6 Mei 2001)
Handerson, W.O. and W.H. Chaloner. 1968. The Condition of the Working Class. Standford: Standford University Press.
Langbaum, Robert. 1967. The Victorian Age: essays in history and in social and literary criticism. New York: A Fawcett.
Lloyd, P.G. 1959. The Story of British Democracy. London: Mac Millan.
Long, William J. 1945. English Literature. New York: Ginn.
Mashburn, S. 2001. Oliver Twist describes social problem in Victorian England, (Online), (http// www. Literature notes. com, diakses 6 Mei 2001).
Mc Kay, John P., Bennett D. Hill, John Buckler. 1983. A History of Western Society. USA: Houghton Mifflin Company.
Moody, William Vaughm. 1943. A History of English Literture. New York: Charles Scribners Sons.
Seamen, L.C.B.1954. A Short Social History of England. London: Longmans.
Slater, Michael (Ed). 1992. Oliver Twist. Everyman’s Library.
Tierney, Brian, Donal Kagan and L. Pearce Williams. 1968. Great Issues in Western Civilization. New York: Random House.

Abstract: Beauty in Today Teen's Eyes


Young female writers shocked the literary field of Indonesia by publishing their works in their way: light, unburdened, and fresh. Their language choice is easily understandable: the noverls were written in a colloquial style. The books were sold well. It did refresh our literary world. The teenagers, at least, have more alternatives to read something composed by their peers. Through their pens, our teens share their views on reality in their very style. One of the outstanding concepts evoked in their writing is the formulation of “beauty”. This paper took four novels, My Friends-My Dreams, Ramalan Fudus Ororpus, Kana di Negeri Kiwi, dan Summer Triangel, to discover the teen’s perspective concerning beauty. The concept is internalized in their mind through the discourses developed in their social background and through the media. They select those discourses, and take one they believe in it. The analysis shows that their concept of beauty is not so different from the general one—or patriarchal beauty. However, they insist that being beauty does not necessarily mean to be happy, as it was obviously declared in Kana di Negeri Kiwi. The beauty is : tall, white, black and straight hair, and well-shaped body. This is just a result of the dominance of patriarchy, standing in the same position of capitalism to whom the main stream media are belonged. The media holder is the only one dictating whats to be “beauty.” Key Words: teen, novel, beauty

Artikel 1-Cantik Dealova


CANTIK ALA REMAJA DALAM NOVEL-NOVEL TEENLITE

Lilik Setijowati
Khristianto
Universitas Muhammadiyah Purwokerto


Pendahuluan
Ada satu fenomena baru yang cukup menggembirakan dalam dunia sastra populer di Indonesia. ‘Chicklit’ atau ‘Teenlite’ biasanya dipakai sebagai sebutan genre sastra baru yang berupa karya-karya sastra, dalam hal ini Novel, yang ditulis oleh remaja-remaja putri. Sebelumnya, sedikit yang membayangkan bahwa dunia remaja remaja yang biasanya merupakan dunia ‘menikmati’ bisa melahirkan sebuah karya yang bisa dibanggakan. Ini artinya remaja juga mengamati, merenungkan, berpikir dan akhirnya berproduksi melahirkan sebuah karya.
Proses berpikir kritis semacam itu mengingatkan kita pada tokoh pemancang tonggak bagi ‘terbukanya dunia wanita’, R.A. Kartini. Budianta (2005) menulis: “…sosoknya sebagai seorang pemikir kritis yang terjebak oleh zamannya. Sejak berusia belasan tahun, gadis bangsawan Jawa itu mengamati segala sesuatu disekitarnya, dan yang terjadi pada dirinya dengan sorotan yang jernih dan tajam.”
Dari sini, kita tahu bahwa proses mengamati itu terjadi semenjak Kartini remaja. ‘Mengamati’ tentu berbeda dengan ‘melihat’ atau ‘menyaksikan’ karena mengamati juga mengandung makna berpikir kritis dan mencerna. Apakah hanya Kartini saja, dan tidak ada gadis lain atau siapapun, yang bisa melihat dan menyaksikan kejadian kesenjangan akses pada dunia antara laki-laki dan perempuan? Tetapi jelas hanya Kartini yang melakukan pengamatan dan kemudian merenungkan kondisi yang sangat biasa itu menjadi satu ‘dorongan’ yang amat kuat untuk mengubahnya.
Adalah hal biasa, pada zaman itu, bahwa perempuan itu tidak pergi ke sekolah, bahwa perempuan hanya berkutat dengan urusan-urusan domestik, sehingga tidak butuh ‘bisa membaca’. Nenek moyang mereka juga seperti itu, mereka bisa melakukan tugas-tugasnya dengan baik, tanpa pergi ke sekolah atau tanpa bisa membaca. Budianta (2005) melanjutkan, “surat-suratnya…merupakan saksi zaman suara perempuan intelektual yang terpingit dan terbungkam oleh kebudayaannya sendiri.” Kartini jelas berupaya mengubah tradisi zamannya, meski langkah itu dilakukan tidak secara langsung memberontak budaya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tapi, hari ini terbukti goresan tulisannya menjadi tonggak sejarah yang membuka ruang bagi perempuan untuk memiliki ruang jangkau terhadap dunia sebagaimana laki-laki.
Melalui karya-karya mereka, para novelis remaja ini juga ingin menggugat ‘trend’ yang selalu menjadi raja bagi teman-teman sebayanya. Merek ingin menyadarkan sesamanya untuk bertanya lagi tentang makna ‘cantik’. Mereka mengajak untuk merenungkan arti ‘bahagia.’ Sebagi contoh, salah satu novelis remaja mengangkat ‘kegemukan’ yang sering dianggap momok dan kartu mati seorang gadis. Ia melalui tokoh utamanya membuktikan bahwa kegemukan bukanlah akhir segala-galanya, bahwa ‘gadis gemuk pun bisa berbahagia dan meraih keinginannya.’ (KCM: 2005). Kajian ini akan berfokus pada bagaimana konsep cantik yang diusung dalam karya-karya novelis remaja.

Chick lit atau Teenlite
Isitilah chick lit bisa diterjemahkan menjadi ‘sastra cewek’ atau ‘sastra remaja putri.’ Chick kadang juga diganti dengan teen untuk mengacu para pengarang karya sastra genre ini. Istilah ‘teen’ kurang spesifik karena biasanya mereka adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sehingga chick, yang bahasa slang untuk perempuan kota besar/urban (Dewi:2005), lebih tepat dalam kasus ini. Chick lit, yang kadang juga disebut Chick Fic, mengacu pada karya fiksi (biasanya novel) yang menggambarkan kehidupan seseorang, biasanya perempuan, berusia 20 atau 30 tahun.
Menurut Housely (2003) Tokoh utama dalam novel jenis ini biasanya tengah berupaya mencari pekerjaan, pacar baru, apartemen yang lebih besar atau kehidupan yang lebih baik. Meski sering kali berbicara tentang cinta, novel ini sangat berbeda dengan gaya novel cinta tradisional. Tokohnya jarang sekali digambarkan sebagai wanita yang sempurna, atau pria kaya yang aristokratis. Tokoh-tokoh dalam cerita memiliki kebebasan sosok baik mencakup besarnya, bentuknya, maupuan rasnya.
Pendapat ini senada dengan penulis novel Cintapuccino, Rachmawati dalam Dewi (2005), yang mengatakan bahwa tokoh dan cerita yang ditampilkan merupakan sesuatu yang membumi, yang akrab dengan dunia mereka dan dunia pembaca. Secara jelas Rachmawati dalam Dewi (2005) mengungkapkan, "Jadi menurut saya, daya tariknya justru dari adanya kedekatan cerita dan gaya bertutur dengan keseharian pembacanya, sehingga sering berkesan gue banget!"
Novel ini mulai berkembang di Barat semenjak tahun 1990-an, yang menunjukkan taringnya dengan sukses besar “Bridget Jone's Diary” pada tahun 1998. Menurut Cabot dari ABC News dalam Housley (2003), diantara 23 milyar dolar penghasilan perusahaan penerbitan, 71 juta diantaranya diperoleh melalui penjualan novel ini. Angka itu dihitung hanya dari novel-novel terlaris. Beberapa penerbit seperti Harlequin, Broadway dan Pocket Books telah mendirikan unit tersendiri untuk menangani novel jenis ini, mengingat keuntungan besar yang menjajikan.
Di Indonesia perkembangan chicklit baru terlihat pada tahun 2000-an. Puncak perkembangannya ditandai dengan diangkatnya salah satu novel menjadi sebuah film, Me and High Heels. Kesuksesan novel ini, kemudian, diikuti oleh larisnya novel-novel sejenis di pasaran. Sebutlah misalnya Dealova yang penjualannya laris bak kacang goreng. Satu prestasi penjualan yang amat jarang, kecuali untuk novel-novel terjemahan dari luar negeri atau buku-buku pelajaran sekolah, sebagaimana tulisan dari wartawan Kompas (Sabtu, 22 Januari 2005 ) berikut:
Penerbit yang memopulerkan novel chicklit dan teenlit di Indonesia ini misalnya, sekarang sudah terjual tak kurang dari 35.000 eksemplar. Tiras buku sebesar ini cukup fantastis untuk jenis buku di luar buku pelajaran di Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila novel teenlit ini masuk dalam kategori buku best seller. Karena, umumnya untuk satu jenis buku penerbit hanya mencetak dari 2.000 hingga 5.000 eksemplar saja.
Sisi yang juga menarik dari kemunculan novel-novel remaja ini adalah fakta bahwa semua itu merupakan produk dari para gadis yang masih sangat belia. Sebagaimana diungkapkan dalam laporan Kompas (22-1-2005), “Penulis-penulis belia itu ada yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), bahkan ada pula yang masih sekolah dasar (SD) waktu mereka mulai menulis novel.” Ini artinya para remaja kita, yang sering dianggap suka hura-hura, ternyata memiliki potensi besar untuk menghasilkan karya. Kreativitas mereka harus kita hargai dan patut dicontoh oleh remaja lainnya.
Menurut Dewi (2005), ada tiga ciri utama dari novel genre ini. Pertama, kedekatan tema dengan permasalahan sehari-hari. Kedua, gaya bahasa yang santai, dan ringan yang ditujukan untuk makin mendekatkan dunia cerita dengan dunia nyata. Dalam novel semacam ini, gaya bahasa formal tidak berlaku, sehingga pembaca seakan tengah bercerita sendiri atau mendengarkan curhat dari karibnya. Ketiga, narasi biasanya dikemas dengan gaya yang kocak, sehingga memberikan hiburan segar.
Dikatakan chick lit merupakan bentuk mutakhir dari feminisme. Melalui karya itu, para pengarang perempuan mengidentifikasikan dunianya sendiri, merombak konsep-konsep ‘keperempuanan’ yang selama ini dibentuk oleh kaum pria. Sebagaimana dikatakan oleh Dyan (2005), “Waktu aku nulis itu aku mikir perempuan itu harus kuat, jangan mau kalah dengan cowok. Makanya, di situ Dealova aku tulis sebagai cewek yang tomboi karena aku memang suka sama cewek-cewek tomboi. Kalo menurut aku cewek tomboi itu perlu. Biar cowok enggak maen-maenin, enggak dianggap lemah, biar cewek itu bisa jaga diri." Dari ungkapan pengarang Dealova tersebut, jelas sekali bahwa ia sebagai pengarang ingin menyampaikan pesan “keperkasaan” kepada kaumnya.

Kajian Wanita dalam Sastra

Kajian gender merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya pria yang telah sekian lama selalu memposisikan kaum perempuan dalam posisi subordinat. Bukti pandangan yang bias gender ini terlihat sejak peradaban Yunani kuno. Aristoteles, misalnya, menegaskan bahwa ”pria memang ditakdirkan lebih unggul dan wanita itu lemah; pria menguasai dan wanita dikuasai”(Bressler,1999:180). Posisi subyek dan obyek yang dikatakan sebagai takdir yang ditentukan Tuhan membuat perempuan tidak diberi kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki.
Protes terhadap kondisi ini terlihat jelas dalam karya feminis awal Virginia Woolf. Ia menggambarkan sebuah masyarakat dengan kaum laki-laki yang selalu dan terus menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Hanya karena ia terlahir dengan kelamin perempuan menjadikannya tidak berhak ’memiliki kamar sendiri’ (’a room of her own’), ia tidak bisa memperoleh pendidikan serta pekerjaan yang layak. Protes senada juga diungkapkan oleh Simone de Beavoir, dari Perancis, melalui The Second Sex dan juga oleh Kate Millet dengan Sexual Politics-nya (Bressler, 1999:181-182).
Dalam dunia sastra, para penulis feminis berupaya menciptakan lakon perempuan yang sesuai dengan keinginan mereka—sosok yang berbeda dengan yang biasa ditampilkan penulis pria. Pengarang wanita berupa mendefinisikan dunianya. Mereka ingin menyatakan ’women are people in their own right.’ Wanita yang dalam dunia sastra dan masyarakat sering digambarkan dan diasosiasikan sebagai peri, pelayan bar, pelacur, ibu rumah tangga yang bodoh, melalui karya-karyanya berupaya melepaskan diri dari tekanan-tekanan tersebut dan mendefiniskan dirinya sendiri (Bressler, 1999:189).
Penulis-penulis Indonesia seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan beberapa penulis lainnya generasi 70-an terbukti telah memberi warna beda yang kuat pada sastra feminis. Mereka berupaya menegaskan eksistensinya sebagai perempuan. Mereka juga menunjukkan kepada budaya masyarakat patriarkis bahwa perempuan pun memiliki kemampuan dan sudah seharusnya diberi hak untuk menyusun stereotipe sastra dan budaya. Sebagaian ada yang menyebut mereka sebagai kelompok sastra wangi. Meskipun sebutan ini juga tidak begitu saja diterima oleh mereka (Dewi:2005).
Hasil dan Pembahasan

Data-data yang ada dikumpulkan dari novel-novel yang dipilih secara purposive, yakni novel-novel yang paling menonjol dalam menggambarkan konsep-konsep yang dirumuskan dalam permasalahan yakni konsep cantik, konsep bahagia dan konsep gadis ideal. Setelah dibaca novel-novel yang telah dikumpulkan, kemudian diperoleh empat novel, yakni My Friends, My Dreams karya Ken Terate, Ramalan Fudus Ororpus tulisan dari Julia Stevanny, Kana di Negeri Kiwi garapan Rosemary Kesauly, dan Summer Triangle karangan Hora Hope.
Satu persatu hasil analisa terhadap keempat novel ini disajikan pada bagian di bawah ini. Pembicaraan dilakukan berdasarkan urutan konsep-konsep yang menjadi fokus pertanyaan penelitian ini, dengan melihat masing-masing konsep yang terkandung dalam keempat sumber data.

Cantik versi remaja kita
Dalam bagian ini, akan dilihat bagaimana masing-masing novel sebagai sumber data mengkategorikan tentang konsep cantik. Novel tersebut merupakan tulisan-tulisan yang mewakili kaum perempuan dalam memandang dunianya. Kaum perempuan di sini secara khusus adalah para remaja, meskipun memang beberapa penulis bisa dikatakan sudah bukan remaja lagi. Tetapi hampir semua cerita yang diangkat menampilkan sosok remaja, para tokoh utama yang masih bersekolah di tingkat menengah.

a) My Friends, My Dreams (MF-MD).
Dalam novel MF-MD, tokoh yang diwujudkan sebagai sosok yang cantik adalah Marcella, salah satu dari trio (Joy, Wening) protagonis. Tiga orang ini teman sekelas, yang kemudian menjadi sahabat yang saling menopang. Kecantikan Marcella digambarkan sebagai berikut.

”Cantik, senyum dong. You look wonderful.” kata-kata Papa nggak bisa membuat gue menarik bibir walau setengah milipun. (MF-MD:16)

Kutipan di atas merupakan fakta cantik yang berasal dari komentar orang lain, yang disampaikan oleh si tokoh sendiri. Orang lain tersebut, ayahnya sendiri, mencoba merayu anaknya agar ceria dengan menyebutkan fakta keunggulan yang melekat pada putrinya tersebut.

”Ow, ada fotomodel nyasar rupanya.” Semua perkataan itu sudah gue cerna. Rasanya otak gue nggak ada di kepala. (MF-MD:17).
Tapi lebih banyak , mata cowok yang melotot melihat jenjang kaki gue (MF-MD:19).

Hampir sama dengan kutipan sebelumnya, fakta cantik ini datang dari orang yang merespon tentang dirinya. Kali ini adalah seniornya di SMU. Seniornya itu menganggap penampilan Marcella seperti fotomodel. Lazimnya, fotomodel pada umumnya sosok Marcella sudah semestinya cantik. Kutipan berikutnya fakta cantik diungkapkan oleh pelaku sendiri, yang bercerita mengenai respon teman-teman laki-lakinya di sekolah yang selalu menikmati keindahan kakinya. Dengan demikian, fakta cantik Marcella semakin kuat, dan dengan didukung satu kriteria, kaki yang jenjang.
Fakta cantik yang diungkap Marcella juga muncul ketika ia membayangkan sosok gadis Bandung yang harus ia cari sebagai tugas yang diberikan senior dalam acara MOS (Masa Orientasi Sekolah).
Masa sih, ada juga mojang Bandung yang nyasar di kelas ini. Gue edarin mata nyari cewek seksi yang rambutnya di-rebonding, dan pake rok mini (MD-MF:21)
Kali ini, Marcella menyampaikan kecantikan orang lain, yakni temannya yang berasal dari Bandung. Ia yakni bahwa orang dari sana tentulah gadis yang cantik, dengan kriteria-kriteria yang ia sebutkan: seksi, rambut di-rebonding.
Kecantikan Marcella juga diakui oleh dua teman akrabnya, Joy dan Wening.
”Elo suka basket?” tanya cewek cantik berambut di-rebonding itu dengan mata bersinar bak lampu disko. Dia kan cewek sensasional yang pake sepatu pink dan rok mini? (MF-MD:30)

Ini adalah komentar Wening tentang Marcella. Wening menyebutkan secara jelas bahwa Marcella adalah sosok yang cantik dengan mata bersinar. Berikut perkataan Joy tentang tokoh yang sama.
Marcella is perfect. Biarpun dia agak belagu dan rada-rada narsis. aku rasa anaknya asyik. Pinter, cantik, seksi, jago basket, gape ngeband, kurang apa coba? (MF-MD:33)
Marcella memang sempurna. Cantik, pinter, dan punya segudang ide kreatif. Apa sih kelemahannya? (MF-MD:47)

Joy dalam dua kutipan tersebut jelas menegaskan kecantikan dan segala hal yang menjadi mimpi dalam kehidupan seorang gadis remaja. Joy mengungkapkan kecantikan Marcella dengan kriteria cantik, seksi, dan pinter.
Kecantikan Marcella ini juga terasa dampaknya dalam pergaulan sekolah secara umum. Dalam arti bahwa kecantikan sudah umumnya menjadi pusat perhatian, sebagaimana komentar Joy tentang posisi mereka bertiga di hadapan pandangan umum.

Tadi ada cowok yang nyamperin aku, pertamanya sih ngajak kenalan. Tapi buntutnya minta dikenalin ama Marcella. Huh! gitu juga kalo kami jalan bareng bertiga. keliatannya kayak Charlie’s Angles di Catwalk bareng-bareng. Tapi lampu sorotnya cuma ngarah ke Marcella. (MF-MD:23)

Respon umum yang terjadi dalam novel merupakan hal yang lazim kita temui dalam kehidupan masyarakat. Cantik selalu menjadi sorotan dan sumber kekaguman bagi orang-orang yang sempat melihatnya. Begitu pun dengan apa yang dialami oleh Joy dan Wening, yang selalu menjadi sosok-sosok yang ”tidak terlihat” dalam mata para siswa. Dengan demikian, konsep cantik ini melekat pada diri Marcella, yang antara lain disebutkan dengan beberapa kriteria.
Kriteria cantik dalam novel juga bisa dilihat dari bagaimana Wening menemukan obsesinya. Ia begitu bingung mana yang bisa diangkat sebagai obsesi ketika ia memiliki terlalu banyak keinginan, sementara tidak yakin dengan target yang ingin ia raih.

Aku punya banyak obsesi. Mulai dari ingin berkulit putih...punya sepatu Gosh seperti Marcella, bisa main gitar...(MF-MD:60)

Cantik yang tampak dari kutipan ucapan Wening ini ada dua: memiliki kulit putih dan memiliki pakaian ber-merk, yang dalam hal ini diwakili oleh sepatu. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa orang cantik itu semestinya harus seksi, berkulit putih, rambut rebonding, dan pakaian bagus atau bermerk.

b) Ramalan Fudus Ororpus (RF)
Dalam novel RF, tidak banyak digambarkan tentang konsep cantik yang diungkapkan, paling tidak jika dibandingkan dengan MF-MD. Kebetulan tokoh utamanya justru gadis yang ”tidak cantik.” Tokoh utamanya adalah Deryn, yang memiliki lima saudara perempuan, merasa iri karena ia tidak mewarisi kecantikan ibunya.

Semua saudaraku seperti pinang dibelah lima. Seperti pinang dibelah enam dengan Mama. Supercantik. Sosok wanita sempurna. Wajah eksotis, kulit putih bersih, mata bulat besar, rambut hitam tebal, postur semampai….(RF:22)

Dari kutipan di atas, tokoh utama tampak begitu menginginkan dirinya seperti sosok-sosok perempuan lain yang ada di rumahnya. Ia menyampaikan ciri atau kriteria cantik yang melekat pada orang-orang di dekatnya: wajah eksotis, kulih putih bersih, mata bulat dan besar, rambut yang hitam dan tebal, serta tubuh yang tinggi semampai.
Kecantikan mereka juga diakui oleh mereka sendiri. Ketika mereka meligitimasi kebenaran ramalan yang menjadi tema cerita. Mereka mengatakan bahwa ramalan itu memang memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk menjadi kebenaran.

“Deryn diramal akan jadi perawan tua, Pa!”…
“Nggak kok, ramalan itu bener,” balas Juliet, mendelik ke arahku.
“Diliat dari luar aja udah kelihatan,” timpal Bianca tajam. “Diantara kita, Deryn kan yang wajahnya paling jelek…”(RF:20)

Selain kategori di atas, ciri cantik juga bisa ditarik dari deskripsi konsep lawannya, “tidak cantik.” Konsep “tidak cantik” ini muncul ketika tokoh utama memandang wajahnya di depan cermin. Ia pun mengakui ia memang memiliki kualitas fisik yang kalah dari saudara-saudaranya.
Sambil menggerutu menyesali nasib, aku meloncat ke depan cermin…Kulit kecoklatan, rambut ikal, pipi tembam, dan tubuh pendek. (RF:23)

Dari deskripsi di atas, ia ingin menegaskan bahwa menjadi cantik seseorang haruslah memiliki kulit yang putih, bukan coklat seperti dirinya ataupun mungkin warna lainnya. Begitu juga dengan rambut yang harus lurus, bukan ikal apalagi keriting. Hal ini tergambar jelas dari deskripsinya bahwa ibu dan kelima saudaranya memiliki rambut yang hitam dan tebal—tentu saja lurus. Kemudian “pipi tembam” mungkin merupakan wakil dari tubuh yang gemuk sebagai lawan dari kata semampai, yang juga dilawankan dengan kata bertubuh pendek. Dengan demikian, RF mengungkapkan konsep cantik yang sejalan dengan mainstream pemahaman yang selama ini berkembang.

c) Kana di Negeri Kiwi
Kana sebagai tokoh utama cerita dalam novel Kana di Negeri Kiwi mengalami nasib sebagai manusia yang terbuang, pertama oleh ibunya yang ingin menikah lagi setelah sekian lama menjadi janda. Dan kedua oleh Rudy, pacarnya, yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta, tidak lama sebelum ia berpindah ke Selandia Baru. Hal yang kemudian sangat mempengaruhi hari-harinya di negeri baru tersebut adalah kata-kata Rudy.
“Lagipula kau gemuk, Kana, kau terlalu gemuk bagiku. Orang-orang selalu menyebut kita pasangan ‘angka sepuluh’. Aku malu pacaran denganmu” (KNK:18).
Julukan sebagai sosok gemuk inilah yang menjadi warna pekat kehidupannya selepas diputus oleh pacarnya itu. Ia memfokuskan seluruh konsentrasinya pada usaha bagaimana menjadikan dirinya ‘tidak gemuk’. Ia menganggap kegemukan adalah sumber masalah dalam kehidupannya. Rudy, yang diharapkan, bisa menjadi tumpuan hatinya, ternyata pergi karena ‘kegemukan’ yang menimpa tubuhnya. Dan ia meyakini bahwa kepergian Rudy adalah kesalahan dirinya semata, yang memiliki tubuh yang kurang bagus di mata Rudy.
“Tapi beratku lima puluh kilo. Joy, ini gawat darurat, aku menghabiskan liburan musim panas dengan berdiet Atkins, diet Okinawa, diet detoksifikasi, dan entah sembilan ribu macam diet lainnya, dan hasilnya seperti ini.” (KNK:37)
Dengan demikian, cantik yang tertanam dalam diri Kana adalah tubuh yang bagus, atau lebih tepatnya tubuh yang tidak kelebihan bobot. Kana sangat risau dengan tubuhnya itu. Padahal menurut sahabatnya Joytika, tubuhnya masih proporsional dan tidak gemuk sama sekali.
“Kana, percaya deh, kau sama sekali tidak gemuk, lagi pula kalaupun kau merasa gemuk, lantas apa salahnya? Drew Barrymore juga tidak kurus-kurus amat, toh dia tetap terlihat cantik.” (KNK:39)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Kana merasa sumber masalah dalam kehidupannya adalah bobot yang berlebihan. Akibatnya, sedikit saja gemuk menjadikannya begitu ketakutan. Hal inipun diketahui oleh ayahnya, yang sebenarnya tidak begitu setuju dengan diet yang ia lakukan.
“Masih kaulanjutkan diet gilamu?”… “Dad, aku HARUS jadi kurus. Mungkin tidak penting bagimu, tapi penting bagiku,”…. “Asal kau bisa menjaga kesehatanmu bagiku tidak masalah.” (KNK:46-47)

Obsesi untuk memiliki tubuh yang langsing semakin menjadi ketika sekolahnya kedatangan para siswa dari Brazil. Kana begitu iri saat melihat bentuk-bentuk tubuh mereka.
Ya ampun, tubuhnya benar-benar membuat iri. Perutnya yang rata, pinggangnya yang ramping berlekuk, pinggulnya yang padat, semuanya TIDAK KUMILIKI. (KNK:62)
Konsep cantik inilah yang menjadi criteria dalam novel KNK. Tubuh indah menjadi kunci seorang perempuan untuk bisa disebut cantik. Hal ini disebabkan karena keputusan Rudy, pacarnya, untuk mengakhiri hubungannya adalah faktor kelebihan berat yang dialaminya.
d) Summer Triangle
Konsep cantik yang dihadirkan dalam novel Summer Triangle (ST) ini cukup simple. Tidak banyak kriteria yang disebutkan untuk mengkategorikan seseorang bisa disebut sebagai cantik. Ada sebutan lain untuk menggantikan kata “cantik,” yakni manis. Posisi “manis”, bila diskalakan, tentu masih dibawah cantik itu sendiri. Bahkan si tokoh utama cerita, Vega, bukan merupakan satu karakter gadis yang cantik. Ia seorang gadis yang biasa saja secara fisik.
Gambar itu bukan gambar Sophie. Perawakannya sedang. Tidak terlalu cantik, tapi juga tidak jelek-jelak amat. Rambutnya ikal dengan ekspresi wajah yang sedang marah-marah, mirip Dewi Medusa. (ST:128)

Kutipan di atas jelas menyebutkan bahwa Vega tidaklah cantik. Kata “manis” muncul ketika pengarang menggambarkan sosok Nina, sahabat Vega.
Vega memperhatikan penampilan cewek dengan logat Jawa original itu. Rambut pendek ala Demi Moore tahun 90-annya benar-benar …Tapi kalo sekarang cowok abis! Tapi tetap manis kok. Kan tahi lalat mungilnya masih menclok di bawah mata kanan. (ST:28)
Selain itu, Sophi, pacar Rio yang sudah meninggal, juga diilustrasikan dengan kata “manis.”
Dia akan menggambar cewek manis berambut panjang nan anggun itu tengah asyik bermain bulu tangkis…sewaktu bermain bulu tangkis, cewek itu selalu tampak cantik. Ia ceria dan penuh semangat. (ST:52)
Sophia teman dekat Nina yang juga tetangga sebelah rumahnya. Dia cantik, periang dan murah senyum. (ST:98)
Tampaknya secara fisik, karakter Sophilah yang mewakili konsep cantik dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai sosok yang anggun dengan rambut panjang dengan pembawaan selalu murah senyum dan penuh semangat.
Namun demikian, bukan kualitas cantik fisik yang menjadi faktor terpenting dalam diri seseorang. Dalam novel ini, dua sosok yang membawa perubahan dalam diri Rio adalah Sophi dan Vega. Sebagaimana bisa kita lihat pada kutipan berikut.

Sophia memang cewek yang penuh tawa ria. Bawaanya selalu riang seperti tidak pernah punya masalah. Beda dengan dirinya yang gampang senewen dan ketus kalau ngomong. Wajar kalau mereka sering beda pandangan dan berdebat. Tapi uniknya, kadang itu bisa membuat Rio tenang, bahkan sampai tergerak untuk “berbaikan” dengan Mama Lastri (ST:122).
Celoteh-celoteh Sophi jualan yang membuatnya baikan sama Mama…Mama Lastri benar-benar baik, bahkan lebih baik dari Mama Anna. (ST:124)

Rio mendapatkan kembali keceriaannya setelah ia bisa berbaikan dengan Mama Lastri dan ini berkat Sophi. Sejak itulah, Rio merasa berhutang budi pada Sophi dan berjanji untuk hanya mencintai Sophi selama kehidupannya. Begitu juga dengan kehadiran Vega saat ia pindah ke Jakarta, Rio ternyata bisa menemukan semangat kehidupan baru.
Rio nggak pernah menggambar orang lain selain Sophie,” lanjut Tante Lastri. Kalau dia tiba-tiba menggambar orang lain, pasti ada apa-apanya…”
Ya lumayan. Seenggaknya elo kan tau cinta elo nggak bertepuk sebelah tangan. Nah, elo bias tuh adegan romantis.Rio pasti bertekuk lutut…(ST:130)

Karakter Sophi dan Vega secara fisik jelas sangat berbeda. Tetapi ada apa dengan keduanya yang menjadikan Rio menemukan kembali semangat hidupnya. Tidak lain jawabannya adalah celoteh, perdebatan, dan keceriaan dari dua karakter tersebut. Baik Vega maupun Sophi adalah sosok yang selalu ceria dan sering harus berdebat dengan Rio tentang berbagai hal. Agaknya karakter inilah yang menjadi kunci kenapa keduanya menjadi sosok yang menarik bagi Rio.

Pembahasan
Cantik dalam keempat novel yang menjadi sumber data ini masih menganut cantik ala mainstream atau cantik patriarkis. Marcella, dalam MF-MD, digambarkan sebagai sosok yang tinggi semampai, berkulit putih dan seksi. Ibu dan saudar-saudara Deryn, dalam RF, digambarkan sebagai sosok yang supercantik dengan tubuh tinggi dan berambut hitam tebal. Dan Kana, dalam KNK, terobsesi untuk mengubah tubuhnya dari gemuk menjadi langsing; ia jug iri dengan teman-teman Berazil yang memiliki tubuh begitu seksi. Tokoh Sohpi, dalam ST, digambarkan sebagai sosok cantik berambut panjang yang anggun.
Konsep cantik yang sangat berkebalikan dengan kata gemuk, memang sudah menjadi prototype tentang apa cantik itu. Budaya patriarkis Jawa misalnya memiliki konsep cantik dengan kategori-kategori yang khas laki-laki. Dalam konsep tersebut, tubuh wanita dieksplorasi dan diarahkan kedalam seksisme ideal hasrat kelaki-lakian. Dari rambut yang ‘ngombak banyu,’ mata yang ‘ndamar kanginan,’ bibir yang ‘nggula satemplik,’ gigi yang ‘miji timun’ hingga pinggang yang ‘nawon kemit’ semunya merupakan bentuk-bentuk ideal yang diinginkan oleh kaum para ada pada diri wanita.
Konsep cantik dalam Budaya patriarkis Jawa ini pun bisa kita temukan pada hampir kebanyakan karya sastra yang ditulis oleh pria, dan juga wanita. Atau juga bisa kita dapati dalam berbagai ledenda yang berkembang di masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Bagaimana kisah Bawang Merah Bawang Putih, Kelenting Kuning yang keduanya senada dengan cerita Cinderella
Dalam suasanan budaya yang semacam inilah, makna cantik itu dikategorikan. Konsep cantik semacam ini masih bisa kita rasakan dan jelas bisa kita tangkap dari berbagai media, misalnya iklan pelangsing. Dalam iklan itu digambarkan bagaimana seorang wanita begitu saja diabaikan oleh pria pasangannya, hanya karena dianggap memiliki kelebihan bobot atau berat badan, meski itu tidak seberapa. Sang pria menjadi tidak mau memandang wanita yang bersolek di depannya. Dan masalah ini tentu dipecahkan dengan persuasifisme gaya iklan dengan mengkonsumsi produk yang dimaksud, tentu dengan hasil yang begitu memuaskan—sang pria akhirnya mau memberikan perhatian. Gambaran ini menunjukkan bahwa menjadi cantik adalah usaha yang dilakukan perempuan untuk melayani kaum lelaki.
Penutup
Hasil analisa menunjukkan remaja memandang cantik sebagai konsep yang dideskripsikan seperti dalam cantik mainstream dengan acuan pada model, Miss Universe dan semacamnya. Cantik ini memiliki kriteria: tubuh tinggi, kulit putih, rambut hitam lurus, dan seksi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh begitu dominannya kelompok patriarkis yang cenderung setali tiga uang dengan kelompok kapitalis. Pihak terakhir inilah pemegang media, yang memiliki peran bagi masyarakat dalam memandang diri dan mendikte bagaimana sosok dicitrakan.




Daftar Pustaka

Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice (2nd Edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Budianta, Melani. 2005. Suara Perempuan sebagai Saksi Zaman. Pustakaloka:Kompas (23 April 2005).
Dewey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. Hertfordshire: Simon & Schuster International Group.
Dewi, Eriyanti Nurmala. 2005. Sastra ”Chicklit”, Sastra Kaum Perempuan Urban. Pikiran Rakyat (1 Mei 2005).
Hope, Hora. 2005. Summer Triangle. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Housley, Suzie.2003. Chick-Lit: Is it A Fad that is Slowing Fading? www.MyShelf.com
Kesauly, Rosemary. 2005. Kana di Negeri Kiwi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
KCM. 2005. Penulis Belia, Mengubah Diary Menjadi Novel. www.kompas.co.id.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Stevanny, Julia. 2005. Ramalan Fudus Ororpus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Terate, Ken. 2005. My Friends, My Dreams. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.