Selasa, 23 Desember 2008

Story 2


DIRMAN: Takdir Manusia
Khristianto
Sudah lama aku termangu. Menatap kosong ke horison timur. Semakin nyata gelagat sang hari menutup sesi kehidupan ini. Kupegang gelondong besi jembatan yang mulai terlihat rapuh. Kutekan kuat-kuat. Untuk melepaskan berat beban kehidupan yang kini kutanggung. Berat? Tak ada lagi yang harus kutanggung. Hanya diri ini. Ah…ini hanya hiburku. Karena anak-anakku mestinya hari ini masih berhak atas jerih payahku. Mereka masih pantas untuk diperhatikan dan dipenuhi segala apa yang diinginkan. Sekuat yang aku bisa. Wajar kan. Itu memang tugas seorang ayah. Seorang kepala keluarga. Siapa itu? Aku. Dirman. Sejak tadi dialog-dialog itu mengalir dalam pikiranku yang kosong. Melompong tanpa isi. Karena apa yang menjadi harapan-harapanku tampaknya tak mungkin menjadi nyata. Kerapuhan jiwaku dalam melihat dunia seakan membuat jangkau pandangku sempit. Tiada berruang. Sesak tiada kelegaan. Ah…dosa apa aku Tuhan? Inikah kehidupan sempit yang sering dinasehatkan sebagai balasan orang-orang seperti aku?
Kegelapan sudah mengelilingiku, ketika aku memutuskan pulang. Pulang? Bukankah pulang artinya kembali ke rumah. Apa yang sekarang kau tempati ini rumahmu? Bukan. Yach tepatnya bukan pulang. Sudah hampir tiga bulan ini, aku menjadi tanggungan Yu Lastri. Kakak perempuanku. Dia tidak kaya. Hanya cukup. Atau dicukup-cukupkan. Saat ini aku hanya punya dia. Saudara yang masih mau menerimaku. Walaupun awalnya dia juga menyampaikan kalo ia tidak enak dengan Mas Pardi. "Ya….sudah. kalo’ mau tinggal di sini,” akhirnya ia terpaksa memahami keadaanku. “Tapi…Le kamu harus menerima apa adanya. Mbak Yumu ini punya apa?” Aku senang dengan sifat ngemongnya.
“Lho…darimana Dir?”, Sapa MasPardi.
“Biasa! Jembatan Layang,” Jawabku singkat. Aku ingin mengakhiri kontak dengan kakak iparku. Tak ingin lama-lama berhadapan dengan orang yang paling aku pekewuhi di rumah ini. Pengertian Mas Pardilah yang sebenarnya membuat Yu Lastri akhirnya membolehkan aku tinggal di rumahnya. Bagaimanapun Mas Pardi adalah kepala keluarga, dan Yu Lastri hanya tidak mau kalo-kalo suaminya itu tidak ridlo padanya. “Hah, seandainya jodohku dulu, orang seperti Yu Lastri ini….mungkin akan beda ceritanya.”
“Itu makanannya sudah disiapkan. Aku sudah makan tadi. Soalnya keburu lapar,” tawarnya dengan nada begitu tulus. Tidak dibuat-buat. Keluwesan Mas Pardi seperti inilah yang makin menenggelamkan aku dalam lubang kerikuhan. Rikuh dan malu. Seberapapun ikhlasnya dia menerimaku, aku tetap tidak boleh lama-lama tinggal di sini. Entah kemana, pokoknya menemukan tempat baru dan tidak menjadi tanggungan orang lain. “Lebih baik mati aja Dir, kalo’ kamu sebagai seorang laki-laki tidak bisa menjaga martabatmu,” ujar Bapak dulu, yang selalu mengulang-ulang tentang pentingnya martabat dalam kehidupan. “Seperti serdadu Jepang itu. Mereka lebih baik mati ketika harus menyerah pada sekutu. Martabat. Inilah yang mereka junjung tinggi. Sebagai satria.”
Selepas salat Maghrib, aku makan. Sesekali aku melihat ke pintu tengah yang memisahkan meja tempat aku makan dengan ruang depan. Aku selalu makan dengan jingkat-jingkut. Kikuk. Yach…tidak pernah bisa lepas saat makan. Setiap suapan selalu diiringi ketidakenakan posisku sebagai penumpang. Jengah. Untungnya, di rumah sering sepi. Yu Lastri yang sudah hampir 34 tahun menikah dan tidak dikaruniai momongan. Kalau sekarang konon kandungannya sudah kering.
***

Sebagai kepala sekolah SD. Di desa. Aku sangat bangga. Begitupun keluargaku. Si Mbok sangat memanjakanku. Sampai aku tua. Akulah anaknya yang dipandang paling berhasil. Menjadi Bapak Guru. Bahkan sempat dipercaya menjadi kepala BP3 di SMP. Hebat sekali aku. Waktu itu. Entah apa dosaku…hingga aku bisa seperti ini. Suara jengkerik makin melengking mengiringi pikiranku yang mulai melayang. Terlepas dari raga.

Matahari sudah tinggi, ketika tersentak bangun oleh suara gedoran di pintu senthong. DER! DER! DER! DER! DER! Aku gelagapan. Menarik sarungku yang melorot. Duduk. Dan terengah. “BANGUN! Orang kok kerjanya tidur. Apa enggak malu Dir!” Aku bisu. Kerjap-kerjap. Ku geleng-gelengkan kepalaku yang masih menyisakan kantuk.
“DIRMAN!! Mana martabat yang dulu kau sebut-sebut itu?”
“Mana?” “Ini martabat? Martabat sontoloyo!” “Mana serdadu Jepang?”
“Bapak tidak lebih dari benalu! Parasit!” Ocehan Barep menerpa bak mortir menghunjam ke seluruh bagian tubuhku. Tiada yang lolos. Semuanya mengenai sasarannya. Kulihat yang paling parah adalah peluru yang menancap dalam hati. Hatiku remuk redam. Tercacah peluru-peluru tajam. Rasanya aku sudah mati. Aku segera jadi bangkai. Busuk dan menebarkan bau.
Selepas kelelahan menyergap. Barep duduk. Agak terengah. Mungkin agak menyesali kelakuannya itu. Sementara, aku berkemas dan ngeloyor pergi. Yu Lastri hanya menangis kebingungan. Menubrukku untuk menenangkan. Kulepaskan tangannya perlahan. “Maafkan aku Yu! Mas!” Terasa ada air mata yang menggelayut di kelopak. Tapi tak kuhiraukan. Nasehat Mas Pardi yang menghiba tidak mampu lagi menahan tekadku untuk pergi entah kemana. Pergi adalah satu-satunya kata yang ada dalam pikiranku. Aku agak berlari mempercepat langkahku. Aku tidak mau lama-lama menjadi tontonan orang.
****
Malam menebarkan pekat ke setiap sudut yang kupandang, saat tubuhku terasa melayang di udara. Angin malam begitu kencang menimpa tubuhku yang kering. Aku berdiri di atas jalan layang. Kendaraan tampak bersliweran di bawah sana. Aku menatap jauh ke gedung-gedung tinggi di sekelilingku. Haruskah mereka menjadi saksi kelemahan manusia ini. Hati ini terasa tertutup. Tak menemukan tempat untuk berlari. Dunia begitu sempit. Meski sekedar untuk menyandarkan tubuh kurus ini. Napasku terasa sesak. Dada ini terasa begitu ciut. Lenganku makin geram meremas pagar besi jembatan. Ku meloncat berulang-ulang. Sambil terus menimbang. Memang aku tak punya pilihan.
***
Aku tercekat. Bingung saat petugas bank menagih hutang yang belum terbayar. Entah aku gunakan untuk apa uang itu. Aku hanya ingin kebutuhan anak-anakku terpenuhi. Aku juga ingin selalu membuat istriku selalu dalam keadaan bahagia. Dan melayaniku dengan senyum lekat di bibirnya. Selain itu, aku juga ingin selalu menjadi seseorang yang pantas dibanggakan siapapun. Keluarga. Tetangga. Kolega. dan bahkan warga desa.
Kebutuhan segalanya terpenuhi. Aku punya tanah yang cukup luas. Sekarang aku tidak perlu menunggu lama untuk berangkat ke kantor. Ada kendaraan. Anak-anakku bisa sekolah. Bahkan si Barep bisa kuliah di kota pelajar. Satu kebahagiaan yang jarang bisa ditemukan oleh sebuah keluarga di desa kecil. Rasanya inilah…yang dimaksud dengan martabat oleh bapak dulu. Berjuang untuk kehormatan diri dan keluarga. Ini tugas lelaki. Kubisikkan pada bapak, “anak lanangmu sudah jadi serdadu sekarang.” Serdadu yang menang. Yach… MENANG.
Segala cara aku tempuh untuk menutupi kebutuhan keluarga. Hutang sana-sini. Ada yang terbayar, sebagian lain baru separo. Bahkan hutang pada adikku, yang hanya buruh tani, belum terbayar hingga kini. Sampai akhirnya, aku menyikat iuran BP3 yang mestinya ku serahkan pada Mas Soleh, bendahara SMP, tempat anakku yang ketiga bersekolah.
Semenjak itu, Sinta tidak mau lagi berangkat sekolah. Dia merasa malu. Berita tentang pemecatanku dari kepala BP3 yang tercium oleh para siswa membuahkan ejekan-ejekan yang bertubi. Baik dari para guru maupun teman-temannya. Kebanggan pada ayahnya lenyap seketika, berganti benci. Kebencian yang menyentuh langit. Begitupun dengan keluargaku, yang tersisih dari pergaulan tetangga. Hari ke hari selalu menjadi bahan pergunjingan bapak-bapak yang nongkong di pinggir jalan, atau ibu-ibu yang duduk di teras rumah sambil petan., mencari kutu rambut.
****
Aku sempat ragu dengan apa yang aku lakukan. Aku takut neraka. Kisahku akan membebani perjalanan hidup mereka. Hingga mungkin ke cicitku. Jangan-jangan ini menjadi bakat baru dalam tradisi keluarga. Atau mungkin ada mbah buyutku atau mbah-mbah buyutku yang terlebih dahulu mencetuskannya hingga terasa ada impuls yang begitu kuat mendorongku. Bingung? Hakekatnya kamu sekarang sudah mati bersama martabat yang sudah hilang dari dirimu. Iya kan.

***
“Benar Pak Dirman ingin mengajukan pensiun sedini ini?”Aku mengangguk. Aku tak punya jalan lain. “Bapak tolong pikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan yang amat penting ini,” dengan bijak para teman guru menasehatiku. Akhirnya, tepat satu minggu sebelum Barep diwisuda, aku dipensiunkan atas usulanku sendiri. Sebagai satu-satunya cara untuk melunasi utangku dan biaya penyelesaian kuliah anak kebangganku itu.
Kebahagiaan di rumahku atas Barep yang sudah sarjana tidak berlangsung lama. Senyuman istriku dari hari ke hari makin dipaksakan. Dan hilang. Sungkeman Barep yang diungkapkan sebagai rasa terima kasih pada ayahnya pun mulai tiada sisa. Ia mulai resah dengan pekerjaan yang harus ia dapatkan. Ingin kerja? Duit lagi. Dan bahkan tidak sedikit. Adik-adik Barep pun kelabakan. Mereka kini mulai ingin keluar dari sekolah. SPP mereka tidak terbayar. Mereka malu.
Kini keluargaku melampiaskan nasib mereka pada keputusan yang aku ambil. Salah langkah. Harus makan dengan apa sekarang. Teman-temanku pun sudah terlihat bosan dengan masalah-masalah yang sering aku ceritakan pada mereka. Saudara-saudaraku tidak lagi mempercayaiku untuk memberikan sedikit pinjaman sebagai penyangga kehidupan kami. Mereka semakin tidak percaya dengan posisiku yang sudah tidak punya apapun yang diandalkan. Dengan apa kau membayar utangmu.
Des! Des! Brak! Aku terjerembab ke kursi panjang. Bibir dan pelipis terasa perih. Dan perutku mual. Hantaman dan tendangan Barep mengakhiri perang mulut diantara kami. Ia stress berat setelah sekian lama bingung dengan apa ia mendapatkan kerja.Kembali ia mendekati menarika kerah bajuku yang lusuh. Tapi Emaknya dengan berteriak menarik pinggang Barep. Sudah! Rep! Nyebut! Nyebut! Barep ngeloyor keluar rumah dengan mata masih merah dan mendelik.
Bayangan-bayangan masa lalu itu secara kilat memenuhi otakku. Memenuhi kesadaranku. Mata merah dan mendelik itu menjadi kenangan terakhir yang mengiringi jatuhnya tubuhku yang mendarat di atas aspal. Dan teriakan-teriakan Barep, MARTABAT! PARASIT! SERDADU JEPANG! Terngiang keras di telingaku. Bibirku sempat tersenyum dan bergumam …sssatriakh…akhhhh…egkh. Jiwaku melayang di atas dua kendaraan yang sempat menggencet tubuhku. Kepalaku terlihat remuk dengan otaknya muncrat. Tangan dan kakiku patah. Tulang punggungku redam. Jiwaku terbang bersama kumandang adzan Isya yang membuatku menangis. Menyesal.

*Mengajar di Fakultas Sastra Universitas Muhammadiyah purwokerto

1 komentar: