Rabu, 10 Desember 2008

Artikel 1_Penerjemahan Al-Qur'an

PERBANDINGAN TEKS TERJEMAHAN AL-QUR’AN
(BAHASA INDONESIA DENGAN BAHASA MELAYU)
Khristianto
Fakultas Sastra
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Abstrak
Al-Qur’an merupakan sumber rujukan suci bagi komunitas muslim di dunia termasuk mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Dari penelitian sebelumnya, penterjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Indonesia memperlihatkan berbagai kekakuan dalam hal kebahasaan. Padahal kekakuan seperti itu cenderung mengurangi keterbacaan sebuah teks, dengan demikian mengganggu pemahaman pembaca sasaran, yakni pemeluk Agama Islam Indonesia, yang ingin memahami firman Allah tersebut. Kemudian timbul pertanyaan apakah kekuan yang sama juga ditemukan dalam Al-Qur’an versi Melayu sebagai bahasa kerabat Bahasa Indonesia?
Kajian ini bermaksud membedah penterjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu, yang akan dibandingkan dengan versi bahasa Indonesia, dengan mengacu pada hasil kajian sebelumnya. Penulis hanya akan berfokus pada redudansi dan ketidaktepatan urutan kata. Apakah terjemahan versi Melayu juga menunjukkan fenomena serupa atau sebaliknya dan apakah ciri bahasa yang tidak natural merupakan hal yang lazim dalam penterjemahan kitab suci. Dengan kata lain, ketidakalamiahan terjemahan itu merupakan bentuk penjagaan nilai-nilai kesucian kalimat-kalimat Tuhan, dan bukan sekedar sebuah khilaf dalam melakukan tugas penterjemahan.

Kata Kunci: Penerjemahan, Kekakuan, Otoritatif

Pendahuluan

Tujuan utama dari kegiatan penerjemahan adalah untuk menginformasikan pesan yang tersimpan dalam satu bahasa kepada pihak yang tidak memahami bahasa tersebut dengan cara mengalihkan pesan itu kedalam bahasa lain yang dimengerti oleh pihak tersebut. Paling tidak itulah tujuan yang paling umum dari kegiatan penerjemahan. Teks-teks yang mengalami proses penerjemahan tentu saja sangat beragam baik dari segi genre, bidang ilmu, maupun dari sasaran yang diinginkan. Salah satu teks yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat manusia adalah tek kitab suci. Teks ini biasanya pertama kali tertuang dalam bahasa tertentu. Kitab Taurat tertulis dalam bahasa Ibrani, Injil tertuang dalam bahasa Latin, Kitab Al-Qur’an menyampaikan pesan-pesan ilahiah melalui bahasa Arab, dan Wedha termaktub dalam teks berbahasa Sansekerta. Namun demikian, kitab-kitab tersebut umumnya tidak membatasi sasaran pembacanya hanya pada orang-orang yang memahami bahasa pertama itu. Naskah-naskah kitab biasanya berlaku umum pada semua manusia, karena konsep dan ide-ide religi yang ada memang diperuntukan secara universal kepada manusia.
Ketika kitab-kitab itu menyebar seiring dengan penyebaran faham agama ke berbagai negara, maka dilakukanlah kegiatan penerjemahan kitab suci. Sasaran utamanya adalah agar memahamkan masyarakat pemeluk satu faham agama mengenai ajaran-ajaran yang menyangkut kehidupan beragama. Kitab Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam pun mengalami proses serupa. Kitab ini diterjemahkan ke berbagai bahasa agar para pemeluknya dapat memahami firman-firman Tuhan yang tertuang dalam bahasa Arab. Indonesia dan Malasyia merupakan dua negara dengan pemeluk agama Islam yang paling besar di wilayah Asia Tenggara. Kitab Al-Qur’an di kedua wilayah ini juga tersaji bersama dengan teks terjemahan yang berbahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Dari kajian yang dilakukan sebelumnya, penulis mendapatkan adanya bentuk-bentuk kekakuan bahasa dalam teks terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Temuan tersebut kemudian mendorong penulis untuk melihat teks terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu, sebagai bahasa yang terdekat familinya dengan bahasa Indonesia. Adapun fokus kajian kali ini diarahkan pada kekuan berupa redudansi dan kejanggalan urutan kata. Analisa akan dilakukan dengan membandingkan dan mengkontraskan. Perbandingan dilakukan dengan memparalelkan kedua versi teks terjemahan, yang kemudian keduanya dikontraskan dengan teks asli sebagai acuan penentuan kategori-kategori penerjemahan yang baik dan benar.

Analisa dan Pembahasan
Hasil analisa menunjukkan bahwa kekakuan-kekakuan yang terbaca dalam teks terjemahan Al-Qur’an versi bahasa Indonesia juga ditemukan dalam bahasa Melayu. Perbandingan dari kedua versi tersebut tersaji dalam Tabel 1. Data yang tersaji tersebut tentu saja tidak bermaksud untuk menjadi representasi dari teks-teks terjemahan Al-Qur’an yang terlampau banyak untuk dibahas secara memadai dalam ruang sempit ini. Namun demikian, data ini dapat menjadi preview mengenai kualitas penerjemahan Al-Qur’an dipandang dari prinsip-prinsip penerjemahan.
a. Redudansi
Redudansi atau pemborosan elemen bahasa merupakan fenomena yang banyak ditemui sebagai faktor yang menjadi kebahasaan teks terjemahan Al-Qur’an tidak begitu luwes. Redudansi ini meliputi elemen-elemen kata ganti, objek tak langsung, klausa, konjungsi, dan kata keterangan. Hal ini ternyata berlaku baik pada bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia. Sebagai contohnya, berikut kutipan terjemahan dari dua versi itu, dengan titik tekan pada unsur kalimat objek tidak langsung (dicetak tebal).
Tabel. 1
Komparasi Teks Terjemahan Al-Qur’an
Indonesia-Melayu


No
Unsur
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu
REDUDANSI
1

Objek tak langsung
(2:3)….dan (mereka) menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,





(2:102) Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat.

(2:121). Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya , mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
(2:3). Iaitu orang-orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta
membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
102...Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat.
121. Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu
beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

2
Kata ganti

2: 27. (Dengan sebab keingkaran mereka), Allah mematerikan atas hati mereka serta pendengaran mereka dan pada penglihatan mereka ada penutupnya dan bagi mereka pula disediakan azab seksa yang amat besar.
2: 29 Mereka hendak memperdayakan Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya memperdaya dirinya sendiri,
sedang mereka tidak menyedarinya.
3
Konjungsi
(2:205) Dan apabila ia berpaling, ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.

(3:87) Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la’nat Allah ditimpakan kepada mereka, la’nat para malaikat dan manusia seluruhnya,

205. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.

87. Mereka itu balasannya ialah bahawa mereka ditimpa laknat Allah dan malaikatNya serta sekalian orang-orang (yang beriman).
4
Keterangan
(2:25)… bahwa mereka disediakan syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam syurga-syurga...Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka didalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.
25. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal soleh, sesungguhnya mereka beroleh Syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai; tiap-tiap kali mereka diberikan satu pemberian dari sejenis buah-buahan Syurga itu, ... dan mereka diberikan rezeki itu yang sama rupanya (tetapi berlainan hakikatnya) dan disediakan untuk mereka dalam Syurga itu pasangan-pasangan, isteri-isteri yang sentiasa bersih suci, sedang mereka pula kekal di dalamnya selama-lamanya.

5
klausa
(2:6) …sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.


(2:6) Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama sahaja kepada mereka: Samada engkau beri amaran kepadanya atau engkau tidak beri amaran, mereka tidak akan beriman.


PERISTILAHAN DAN URUTAN KATA
6
Istilah
(3:178) Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.

3:178 178. Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahawa Kami membiarkan (mereka hidup lama) itu baik bagi diri mereka; kerana sesungguhnya Kami biarkan mereka hanyalah supaya mereka bertambah dosa (di dunia) dan mereka pula beroleh azab seksa yang menghina (di akhirat kelak).

7
Urutan Frasa
(2:102) Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang dengan isterinya.
(2:107) Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.

102. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.
107. Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.


Bahasa Indonesia (BI)
(2:121). Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya , mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

Bahasa Melayu (BM)
2-121. Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi

Kedua versi terjemahan ini sama, tanpa beda apapun baik dari segi gramatikalnya, pilihan kata ataupun peristilahannya. Hal ini bisa difahami karena Melayu dan Indonesia merupakan dua bahasa yang sangat dekat. Dengan kesamaan tersebut, maka redudansi yang muncul juga sama. Dalam bahasa yang lazim, kata ”kepadanya” sebenarnya cukup disebutkan pada awal, yakni pada klausa pertama. Atau bahkan tidak perlu sama sekali, karena kata kepadanya mengacu pada subyek pasif. Makna itu pada klausa-klausa berikutnya menjadi unsur elips, yang tetap bisa ditangkap oleh pembaca. Dari segi penerjemahan, teks terjemahan ini merupakan bentuk terjemahan harfiah, dengan menuangkan semua unsur gramatikal yang terdapat dalam bahasa Arab, teks Al-Qur’an.
Alladziina Ataena Hum ulKitaba
Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya

Kalimat terjemahan di atas sebenarnya cukup ditulis, dengan ”Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab.” Tanpa ada kata ”kepadanya,” makna yang dimaksud sudah jelas, karena subyek pada kalimat pasif seperti sudah menjadi ”obyek tidak langsung” secara semantis. Penerjemahan semacam ini timbul, karena penterjemah terlalu ketat mengikuti tata gramatikal bahasa sumber. Ungkapan ”Alladziina” dalam bahasa Arab berarti ”orang-orang yang,” ”Ataena” bermakna ”Kami berikan,” ”Hum” berarti ”mereka” dan ”ulKitab” yang artinya ”Al-Kitab.” Dari rincian ini, produk terjemahan yang ada merupakan hasil dari proses penerjemahan secara harfiah dengan menampilkan seluruh realitas kebahasaan dari bahasa sumber. Sebagaimana diungkapkan oleh Suryawinata dan Hariyanto (2003:48) berikut ini.
”Terjemahan yang sangat berpihak pada teks Bsu adalah terjemahan harfiah. Terjemahan jenis ini berusaha untuk mempertahankan bentuk (gaya) dan makna yang ada di dalam teks Bsu di dalam terjemahannya, tanpa memperhitungkan apakah bentuk atau gaya bahasa itu wajar dalam Bsa, apakah pembaca teks Bsa-nya bisa mengerti terjemahan itu dengan mudah atau tidak.”

Tentu, teks terjemahan di atas tidak sampai menyulitkan pembaca dalam memahami teks, tetapi lebih pada ”ketidakwajaran” teks itu bagi persepsi pembaca Indonesia. Hal ini pun berlaku bagi bagian lain dari penerjemahan ayat yang sama, yakni perulangan kata ”kepadanya” hanyalah manifestasi dari keberadaan kata ”bihi” dalam teks asli yang secara harfiah memang selalu melekat pada akhir klausa dalam ayat di atas.
Hal yang serupa juga berlaku pada redudansi pada elemen kata ganti pada data dalam Tabel 1. Teks terjemahan Ayat (2:27) memperlihatkan adanya kata ganti milik yang terus disebut-sebut bersama properti yang dimiliki: ”Allah mematerikan atas hati mereka, serta pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka ada penutupnya.” Dalam ujaran bahasa Indonesia yang lazim, kata ganti milik ini diucapkan atau dituliskan setelah rangkaian benda yang dimiliki itu disebutkan. Jadi, akan berbunyi seperti berikut: ”Allah mematerikan hati serta pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” Teks terjemahan semacam ini juga timbul karena faktor keharfiahan metode yang diterapkan. Begitu juga dengan pada terjemahan ayat (2:29), dengan redudansi kata ganti subyek, ”mereka” yang berulang hingga tiga kali, dengan mengulang subyek yang sama pada tiga klausa aktif yang memiliki subyek serupa. Semestinya kalimat yang lazim akan mengelips subyek pada klausa kedua dan ketiga, karena maknanya sudah terwakili dari klausa pertama.
Penerjemahan pada ayat (2:205) juga memperlihatkan kesamaan. Kali ini yang menjadi korban adalah konjungsi ”dan” yang dimunculkan empat kali. Fungsi ”dan” pada teks itu adalah untuk menyebutkan perincian, yang biasanya dalam teks bahasa Indonesia hanya diwujudkan dengan tanda koma; kata ”dan” muncul sekali sebelum rincian terakhir disebutkan. Bila kita tengok pada teks asli, kita akan mendapati kata ”wa” memang selalu mengawali klausa-klausa dalam kalimat panjang pada ayat ini.
Penterjemahan yang terlalu kaku mengikut bentuk kebahasaan teks sumber juga tampak jelas pada pemunculan konjungsi bahwa pada teks terjemahan ayat (3:87). Hal ini berlaku pada kedua versi, yang memang sama persis, kecuali perbedaan bentuk ”bahwasanya” dan ”bahawa.” Kata itu merupakan terjemahan dari kata ”Anna.”

Ulaaika Jazaauhum Anna Alaihim Laknatullah
Mereka itu balasannya ialah bahwasanya la’nat Allah ditimpakan kepada mereka (BI)
Mereka itu balasannya ialah bahawa mereka ditimpa laknat Allah (BM)
Kata ”bahwasanya” muncul sebagai pengganti kata ”anna” dalam bahasa Arab, teks sumber. Padahal secara normal dengan adanya kata ”ialah” sudah cukup mewakili makna yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan subyek kalimat yang berputar-putar antara kata ganti subyek, yang diaposisikan dengan kata ganti milik. Mestinya bisa disederhanakan dan lebih jelas dengan langsung menyebut kata ganti milik, ”Balasan mereka.”
Bila kita telusuri lebih lanjut pada versi bahasa Indonesia, ada redudansi kata benda milik dari beberapa subyek yang berbeda, ”laknat.” Maksudnya, kata ini cukup disebutkan sekali di awal, kemudian diikuti dengan subyek pemilik. Bila kita kontraskan dengan teks asli, cara ini sangat berlawanan dengan fakta sebelumnya. Teks asli hanya menyebutkan kata ”laknat” hanya sekali saja sebelum subyek ”Allah.”
Laknatallahi Walmalaaikati Wannasi Ajmaiin

Teks di atas dengan demikian diterjemahkan tidak secara harfiah, karena teks asli hanya menyebutkan satu kata ”laknat”. Tetapi teks terjemahan menyebut kata itu tiga kali. Dalam hal ini, versi Melayu bisa dikatakan lebih konsisten dalam menerapkan keharfiahan terjemahannya. Nilai lebih dari versi Melayu pada teks terjemahan ayat ini juga tampak dari susunan kalimat pasifnya.

La’nat Allah ditimpakkan kepada mereka (BI)
Mereka ditimpa laknat Allah (BM)

Versi bahasa Melayu tampak lebih simpel dan lebih mudah dipahami, karena versi bahasa Indonesia terasa berputar-putar dan memunculkan banyak redudansi unsur –unsur yang mestinya tidak perlu hadir. Dengan demikian, akan lebih luwes, bila ayat (3:87) diartikan dengan, ”Balasan mereka adalah mereka ditimpa laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.”
Redudansi klausa pada teks terjemahan ayat (2:6) yang menunjukkan dua klausa sejajar dengan makna serupa.
A’andzartahum Amlam Tundzirhum
...kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan...(BI)
...engkau beri amaran kepadanya atau engkau tidak beri amaran... (BM)
Dua klausa dalam teks terjemahan memang merupakan representasi dari dua klausa yang juga terdapat dalam teks sumber. Lagi-lagi keharfiahan adalah alasan di balik kemunculan teks yang redudans ini. Walaupun versi bahasa Indonesia kali ini juga akan menyimpang dari keharfiahan, karena kata ”kepadanya” tidak muncul. Teks asli menyebutkan morfem atau kata ”hum” yang bermakna ”mereka.” Secara kaidah penerjemahan yang baik, makna ”mereka” sudah terimplikasi dari subyek pada klausa sebelumnya, sebagaimmana tampak pada kutipan berikut.
…sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman (BI)
(2:6) Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama sahaja kepada mereka: Samada engkau beri amaran kepadanya atau engkau tidak beri amaran, mereka tidak akan beriman (BM)

Dengan demikian terjemahan yang lebih tepat untuk dua klausa sejajara di atas adalah ”kamu beri peringatan atau tidak”—sebuah bentuk kalimat yang lebih berterima bagi pembaca Indonesia dan Melayu sebagai sasaran dari teks terjemahan ini.

b. Peristilahan dan Urutan Kata
Teks terjemahan untuk ayat (3:178) memperlihatkan banyak perbedaan pada dua versi ini. Secara umum, tidak ada masalah yang berarti dalam teks terjemahan versi Melayu. Hal ini berlawanan dengan versi bahasa Indonesia yang menunjukkan adanya problema peristilahan, yang bermuara pada satu inti, yakni penggunaan kata “tangguh” sebagai bentuk benda. Padahal, kata tangguh lebih akrab bagi pembaca Indonesia sebagai kata sifat yang bermakna “tidak mudah menyerah.” Versi Melayu menterjemahkan frasa ”Numli lahum” dengan ”Kami membiarkan mereka” yang terasa lebih mudah dicerna dan dipahami.
Annama Numli Lahum
...bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka..(BI).
Bahawa kami membiarkan (mereka hidup lama) (BM)

Versi Melayu menambahkan anotasi dalam kurung sebagai keterangan ungkapan ”membiarkan.” Sementara versi Indonesia menggunakan ungkapan yang salah secara leksikal dan juga lebih sulit dipahami bagi pembaca Indonesia secara umum—paling tidak dari pengalaman penulis sebagai konsumen teks tersebut. Hal serupa juga terjadi pada bagian ayat lain dengan redaksi yang sama persis, dan diartikan dengan serupa pula. Kata ”tangguh” sebenarnya bisa digunakan dengan baik, bila penterjemah melakukan nominalisasi pada kata itu menjadi ”penangguhan”. Hal lain yang menimbulkan hilangnya keluwesan dalam teks terjemahan versi Indonesia adalah urutan kata yang tidak lazim layaknya teks bahasa Indonesia pada umumnya, yang menjadikan klausa itu harus bolak-balik: ”pemberian tangguh kami kepada mereka,” yang sebenarnya bisa disimplifikasi menjadi ”penangguhan (siksa/kematian) kami atas mereka,” dengan anotasi yang berfungsi untuk menegaskan maksud dari makna kata ”penangguhan”.
Persoalan peristilahan serupa juga terlihat dari teks terjemahan ayat (2:102). Untuk kasus ini, kedua versi memiliki kesamaan dalam menuangkan makna kata per kata dari teks asli, yang akhirnya menimbulkan kesulitan. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suryawinata dan Hariyanto (2003) di atas, terjemahan harfiah ini jelas menunjukkan tidak adanya perhatian pada pentingnya pemahaman pembaca atas teks. Penterjemah hanya terfokus perhatiannya pada bagaimana menuangkan tiap kata dalam teks sumber ke dalam teks sasaran. Cara ini jelas tidak bisa dibenarkan seperti disampaikan oleh Mulyanah (2007:189) bahwa ”penerjemahan dapat dikatakan sebagai sebuah proses mencari perbedaan bahasa untuk mencari persamaan pesan.” Artinya bukan kesamaan unsur kebahasaan yang dipentingkan, melainkan kesamaan pesan.
Fayata’allamuna minhuma ma Yufarriquuna bihi bainal Mar’i Wazaujih
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang dengan isterinya (BI)
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. (BM)

Teks bergaris tebal merupakan terjemahan dari ungkapan ”Ma Yufarriquuna Bihi” yang secara harfiah ”apa yang dengan sihir itu mereka bisa menceraikan.” Dari segi semantis, maksud dari ungkapan ini tidak lain adalah ”sihir yang dapat menceraikan.” Tetapi, penterjemah mengadopsi kata-kata perkata teks asli, sehingga makna yang diinginkan menjadi kabur.
Urutan kata lain dalam teks terjemahan yang menunjukkan kekakuan adalah terjemahan ayat (2:107). Kali ini, kedua versi pun menunjukkan kesamaan. Untuk menemukan sebabnya, kita perlu membandingkan kedua teks dengan teks sumbernya.
Wamaa lakum Mindunillahi Miw Waliyi Walaa Nastiir
Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong (BI)
Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong (BM)

Berdasarkan pampangan di atas, terlihat bahwa susunan urutan kata memang disesuikan dengan teks ayat sebagai teks sumber. Kata ”lakum” yang artinya ”bagimu” diikuti oleh ”mindunillahi” yang berarti ”selain Allah.” Tentu akan lebih luwes bila kata ”selain Allah” ditempatkan di akhir kalimat, menurut kelaziman bahasa Indonesia. Jadi, keharfiahan ada di balik kemunculan ekspresi yang kaku dan lebih sulit dipahami bagi pembaca.

Pembahasan
Penerjemahan tidak lain adalah proses komunikasi dengan pesan sebagai komoditas yang dipertukarkan. Pesan dalam penerjemahan adalah makna yang tersimpan dalam kemasan bahasa tertentu, dan harus dikemas ulang dalam bahasa lain yang bisa dipahami oleh pengguna bahasa lain itu sebagai sasaran. Dalam konteks penerjemahan Al-Qur’an, sasaran pembacanya adalah semua umat manusia yang ingin mempelajari pokok-pokok ajaran Islam. Teks Al-Qu’an, menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003:51) adalah wacana otoritatif. Karena itu, ”penerjemahan Al-Qur’an harus dengan ancangan semantis, formal, tertulis.” Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Newmark yang mereka kutip bahwa ”terjemahan semantis biasa digunakan untuk teks-teks otoritatif, atau teks ekspresif, yakni teks-teks yang isi dan gayanya, gagasan dan kata-kata serta strukturnya sama-sama penting.”
Menilik dari pendapat di atas, secara prosedur penterjemahan Al-Qur’an di atas sudah melanggar kaidah penerjemahan yang semestinya, karena tehnik atau metode yang digunakan adalah penerjemahan harfiah. Susunan teks terjemahan yang mengabaikan makna dan pentingnya pemahaman pembaca akan teks sasaran bahkan hampir serupa dengan metode word-for-word translation yang disampaikan Hoed (2008:4), ”yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata dan membiarkan susunan kalimat seperti dalam TSu.” Fakta ini tampak dari salah satu ungakapan ”apa yang dengan sihir itu...” (2:102) yang setelah diurutkan merupakan bentuk terjemahan kata per kata dari teks asli. Begitu juga dengan kasus-kasus redudansi yang muncul sebagai akibat, keberpihakan penterjemah yang berlebihan terhadap teks sumber.
Kekakuan-kekakuan yang ditemukan dalam analisa di atas menunjukkan bahwa penerjemahan ini mengabaikan tataran keempat dari prosedur penerjemahan Newmark, yakni the level of naturalness , atau tataran kewajaran. Tataran ini bertumpu pada pertimbangan yang dilakukan seorang penterjemah, ketika sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya: ”apakah teks terjemahan itu jelas dan berterima bagi calon pembacanya?” (Hoed, 2008:6)
Sifat otoritatif dari teks Al-Qur’an, sebagai kitab suci, tampaknya merupakan dinding kokoh yang menyebabkan penterjemah enggan untuk melepaskan diri dari teks sumber. Penterjemah memiliki ketakutan tertentu bahwa ketika mereka hanya berpegang pada makna yang sudah mereka pahami, dan meninggalkan teks sebagai kemasan, mereka akan mengubah firman-firman Tuhan yang suci. Asumsi baru kemudian muncul apakah kesucian/kesakralan sebuah kitab musti diwujudkan dalam bentuk wacana-wacana yang kaku dan ekspresi kebahasaan yang aneh dan tidak umum?
Ketakutan semacam inilah yang tampaknya menjadi kekhawatiran Newmark (1987:129):
”The translator mus not use a word or phrase that sounds intuitively unnatural or artificial to him. If a translator accepts a suggested rendering because of the authority behind it, rather than because he feels it intuitively right for him, this rendering is likely to clash with the rest of his version—it will not cohere.”

Apa yang ditempuh oleh penterjemah teks Al-Qur’an tampaknya berlawanan dengan apa yang dianjurkan oleh Newmark di atas. Kekakuan-kekakuan yang timbul dalam teks yang menjadi obyek kajian ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang timbul karena penterjemah memilih dan menyusun kata-kata berdasarkan posisi otoritas keagamaan atau bahkan ketuhanan. Dan akibatnya tampak dari ketidaknaturalan serta sesuatu yang secara intuisi memang tidak bisa berterima bagi penterjemah maupun pembaca.
Suryawinata dan Hariyanto (2003:53) menanggapi tingkat otorisasi sebuah kitab suci masih memberikan ruang negosiasi yang bisa dilakukan oleh penterjemah, ketika berhadapan dengan teks otoritatif yang sulit untuk dipertahankan bentuk serta struktur aslinya. Mereka mengatakan bahwa ”...penerjemah bisa memberi sedikit konsesi bagi pembaca BSA dengan sekedar mengubah makna yang bersifat tidak begitu penting untuk membantu pemahaman pembaca.” Artinya, pemahaman pembaca merupakan sesuatu yang sangat diprioritas dalam teks apapun, sehingga penterjemah bisa melakukan modifikasi demi tersampaikannya makna yang dimaksudkan dalam teks asli. Meskipun, dengan itu, bentuk kebahasaan dari teks suci tersebut agar berbeda dengan aslinya. Bahkan mereka menyebutkan dengan ”mengubah makna” bukan sekedar bentuk kebahasaan.
Rekomendasi-rekomendasi yang diajukan sebagai alternatif revisi dalam kajian ini hanya berkutat pada modifikasi unsur kebahasaan, tidak sampai pada pengubahan makna. Hal ini tentu saja lebih aman dari ancaman menyalahi teks yang memiliki otoritas paling tinggi. Revisi-revisi itu perlu dilakukan karena struktur kalimat yang tidak alamiah dan peristilahan yang kadang membingungkan, yang karena itu sangat mungkin pembaca tidak memahami maksud kalimat dalam teks. Sebagaimana diungkapkan oleh Saksono (2008:104) bahwa pembaca bisa saja tidak memahami teks terjemahan apabila (1) teks mengungkapkan kata yang tidak umum, (2) bangun kalimat yang tidak lazim. Ia melanjutkan bahwa hal ini terjadi karena penerjemah hanya terpaku pada struktur dan bangun kalimat Bsu. Untuk itu, ia menyarakan bahwa penerjemah harus memiliki ”penguasaan yang baik terhadap struktur Bsa, makna kata, frasa dan kalimat” agar bisa menghasilkan ”teks terjemahan yang mudah dipahami” (Saksono, 2008:105).
Penerjemahan sudah pasti harus menghasilan makna yang sepadan. Adapun indikator dari kesepadanan menurut Fastriani (2007:75) yang mengadaptasi pemikiran Lederer soal teks sastra adalah (1) dapat menyampaikan informasi berdasarkan keoriginalitasnya dan realitas linguistik (denotatif), (2) harus menghormati kekhasan gaya bahasa dan ekspresi-ekspresi konotatif sesuai dengan jenis teksnya, (3) mengadaptasi pengetahuan-pengetahuan pembaca supaya mengetahuinya (pragmatik), dan (4) menghasilkan efek estetik. Kriteria ini sebagian mungkin bisa diperlakukan kepada teks otoritatif seperti kitab suci. Dan, tampak sekali penterjemah sebenarnya sangat ingin menyajikan teks terjemahan yang memenuhi kriteria ini. Walaupun, tampaknnya kriteria ”menyampaikan informasi” agak terkaburkan oleh bahasa-bahasa yang tidak alamiah, demi mengejar tiga kriteria yang lain.

Penutup
Penerjemahan Al-Qur’an menampakkan sebagian bentuk kebahasaan yang terasa kaku dan sulit dipahami. Faktornya adalah implementasi metode harfiah dalam penterjemahan teks, yang tampaknya merupakan efek lanjut dari otorisasi teks sumber yang begitu tinggi. Kenyataan ini kemudian menimbulkan keengganan atau ketakutan penterjemah untuk hanya berpegang pada makna, bukan pada unit-unit bahasa yang menyusun makna itu. Menilik dari berbagai pendapat, sudah semestinya teks terjemahan Al-Qur’an dalam dua versi bahasa Indonesia dan Melayu perlu ditinjau kembali, untuk menghasilkan sebuah wacana yang lebih mudah dicerna oleh pembaca sasaran, yang sebagian besar mengandalkan terjemahan itu sebagai media pemahaman akan firman-firman Tuhan.

Daftar Acuan
Suryawinata, Zuchridin dan Hariyanto, Sugeng. 2003. Translation: Kajian Teori dan Petunjuk Praktis. Yogyakarta: Kanisius.
Fastriani, Siti Hariti. 2007. Transformasi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra Terjemahan. Jurnal Humaniora: vol.19, no.1 Februari 2007. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya , UGM.
Mulyanah, Ade. 2007. Terjemahan Verba “Have” dalam Konteks Kalimat. Roncean (Muh. Abdul Khak dkk penyunting). Bandung: Balai Bahasa Bandung.
Newmark, Peter. 1987. Approaches to Translation. Oxfor: Pegamon Press.
Saksono, Lutfi. 2008. Keterbacaan Teks Sastra Terjemahan di Indonesia (Makalah). Seminar Nasional Penerjemahan Karya Sastra dan Subtitling, Terjemahan dalam berbagai Wajah: Novel, Komik dan Film. Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Dian Nuswantoro.
Hoed, Benny H. 2008. Teori dan Praktik Penerjemahan (Makalah). Seminar Nasional Penerjemahan Karya Sastra dan Subtitling, Terjemahan dalam berbagai Wajah: Novel, Komik dan Film. Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Dian Nuswantoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar