Rabu, 10 Desember 2008

Artikel 1-Cantik Dealova


CANTIK ALA REMAJA DALAM NOVEL-NOVEL TEENLITE

Lilik Setijowati
Khristianto
Universitas Muhammadiyah Purwokerto


Pendahuluan
Ada satu fenomena baru yang cukup menggembirakan dalam dunia sastra populer di Indonesia. ‘Chicklit’ atau ‘Teenlite’ biasanya dipakai sebagai sebutan genre sastra baru yang berupa karya-karya sastra, dalam hal ini Novel, yang ditulis oleh remaja-remaja putri. Sebelumnya, sedikit yang membayangkan bahwa dunia remaja remaja yang biasanya merupakan dunia ‘menikmati’ bisa melahirkan sebuah karya yang bisa dibanggakan. Ini artinya remaja juga mengamati, merenungkan, berpikir dan akhirnya berproduksi melahirkan sebuah karya.
Proses berpikir kritis semacam itu mengingatkan kita pada tokoh pemancang tonggak bagi ‘terbukanya dunia wanita’, R.A. Kartini. Budianta (2005) menulis: “…sosoknya sebagai seorang pemikir kritis yang terjebak oleh zamannya. Sejak berusia belasan tahun, gadis bangsawan Jawa itu mengamati segala sesuatu disekitarnya, dan yang terjadi pada dirinya dengan sorotan yang jernih dan tajam.”
Dari sini, kita tahu bahwa proses mengamati itu terjadi semenjak Kartini remaja. ‘Mengamati’ tentu berbeda dengan ‘melihat’ atau ‘menyaksikan’ karena mengamati juga mengandung makna berpikir kritis dan mencerna. Apakah hanya Kartini saja, dan tidak ada gadis lain atau siapapun, yang bisa melihat dan menyaksikan kejadian kesenjangan akses pada dunia antara laki-laki dan perempuan? Tetapi jelas hanya Kartini yang melakukan pengamatan dan kemudian merenungkan kondisi yang sangat biasa itu menjadi satu ‘dorongan’ yang amat kuat untuk mengubahnya.
Adalah hal biasa, pada zaman itu, bahwa perempuan itu tidak pergi ke sekolah, bahwa perempuan hanya berkutat dengan urusan-urusan domestik, sehingga tidak butuh ‘bisa membaca’. Nenek moyang mereka juga seperti itu, mereka bisa melakukan tugas-tugasnya dengan baik, tanpa pergi ke sekolah atau tanpa bisa membaca. Budianta (2005) melanjutkan, “surat-suratnya…merupakan saksi zaman suara perempuan intelektual yang terpingit dan terbungkam oleh kebudayaannya sendiri.” Kartini jelas berupaya mengubah tradisi zamannya, meski langkah itu dilakukan tidak secara langsung memberontak budaya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tapi, hari ini terbukti goresan tulisannya menjadi tonggak sejarah yang membuka ruang bagi perempuan untuk memiliki ruang jangkau terhadap dunia sebagaimana laki-laki.
Melalui karya-karya mereka, para novelis remaja ini juga ingin menggugat ‘trend’ yang selalu menjadi raja bagi teman-teman sebayanya. Merek ingin menyadarkan sesamanya untuk bertanya lagi tentang makna ‘cantik’. Mereka mengajak untuk merenungkan arti ‘bahagia.’ Sebagi contoh, salah satu novelis remaja mengangkat ‘kegemukan’ yang sering dianggap momok dan kartu mati seorang gadis. Ia melalui tokoh utamanya membuktikan bahwa kegemukan bukanlah akhir segala-galanya, bahwa ‘gadis gemuk pun bisa berbahagia dan meraih keinginannya.’ (KCM: 2005). Kajian ini akan berfokus pada bagaimana konsep cantik yang diusung dalam karya-karya novelis remaja.

Chick lit atau Teenlite
Isitilah chick lit bisa diterjemahkan menjadi ‘sastra cewek’ atau ‘sastra remaja putri.’ Chick kadang juga diganti dengan teen untuk mengacu para pengarang karya sastra genre ini. Istilah ‘teen’ kurang spesifik karena biasanya mereka adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sehingga chick, yang bahasa slang untuk perempuan kota besar/urban (Dewi:2005), lebih tepat dalam kasus ini. Chick lit, yang kadang juga disebut Chick Fic, mengacu pada karya fiksi (biasanya novel) yang menggambarkan kehidupan seseorang, biasanya perempuan, berusia 20 atau 30 tahun.
Menurut Housely (2003) Tokoh utama dalam novel jenis ini biasanya tengah berupaya mencari pekerjaan, pacar baru, apartemen yang lebih besar atau kehidupan yang lebih baik. Meski sering kali berbicara tentang cinta, novel ini sangat berbeda dengan gaya novel cinta tradisional. Tokohnya jarang sekali digambarkan sebagai wanita yang sempurna, atau pria kaya yang aristokratis. Tokoh-tokoh dalam cerita memiliki kebebasan sosok baik mencakup besarnya, bentuknya, maupuan rasnya.
Pendapat ini senada dengan penulis novel Cintapuccino, Rachmawati dalam Dewi (2005), yang mengatakan bahwa tokoh dan cerita yang ditampilkan merupakan sesuatu yang membumi, yang akrab dengan dunia mereka dan dunia pembaca. Secara jelas Rachmawati dalam Dewi (2005) mengungkapkan, "Jadi menurut saya, daya tariknya justru dari adanya kedekatan cerita dan gaya bertutur dengan keseharian pembacanya, sehingga sering berkesan gue banget!"
Novel ini mulai berkembang di Barat semenjak tahun 1990-an, yang menunjukkan taringnya dengan sukses besar “Bridget Jone's Diary” pada tahun 1998. Menurut Cabot dari ABC News dalam Housley (2003), diantara 23 milyar dolar penghasilan perusahaan penerbitan, 71 juta diantaranya diperoleh melalui penjualan novel ini. Angka itu dihitung hanya dari novel-novel terlaris. Beberapa penerbit seperti Harlequin, Broadway dan Pocket Books telah mendirikan unit tersendiri untuk menangani novel jenis ini, mengingat keuntungan besar yang menjajikan.
Di Indonesia perkembangan chicklit baru terlihat pada tahun 2000-an. Puncak perkembangannya ditandai dengan diangkatnya salah satu novel menjadi sebuah film, Me and High Heels. Kesuksesan novel ini, kemudian, diikuti oleh larisnya novel-novel sejenis di pasaran. Sebutlah misalnya Dealova yang penjualannya laris bak kacang goreng. Satu prestasi penjualan yang amat jarang, kecuali untuk novel-novel terjemahan dari luar negeri atau buku-buku pelajaran sekolah, sebagaimana tulisan dari wartawan Kompas (Sabtu, 22 Januari 2005 ) berikut:
Penerbit yang memopulerkan novel chicklit dan teenlit di Indonesia ini misalnya, sekarang sudah terjual tak kurang dari 35.000 eksemplar. Tiras buku sebesar ini cukup fantastis untuk jenis buku di luar buku pelajaran di Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila novel teenlit ini masuk dalam kategori buku best seller. Karena, umumnya untuk satu jenis buku penerbit hanya mencetak dari 2.000 hingga 5.000 eksemplar saja.
Sisi yang juga menarik dari kemunculan novel-novel remaja ini adalah fakta bahwa semua itu merupakan produk dari para gadis yang masih sangat belia. Sebagaimana diungkapkan dalam laporan Kompas (22-1-2005), “Penulis-penulis belia itu ada yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), bahkan ada pula yang masih sekolah dasar (SD) waktu mereka mulai menulis novel.” Ini artinya para remaja kita, yang sering dianggap suka hura-hura, ternyata memiliki potensi besar untuk menghasilkan karya. Kreativitas mereka harus kita hargai dan patut dicontoh oleh remaja lainnya.
Menurut Dewi (2005), ada tiga ciri utama dari novel genre ini. Pertama, kedekatan tema dengan permasalahan sehari-hari. Kedua, gaya bahasa yang santai, dan ringan yang ditujukan untuk makin mendekatkan dunia cerita dengan dunia nyata. Dalam novel semacam ini, gaya bahasa formal tidak berlaku, sehingga pembaca seakan tengah bercerita sendiri atau mendengarkan curhat dari karibnya. Ketiga, narasi biasanya dikemas dengan gaya yang kocak, sehingga memberikan hiburan segar.
Dikatakan chick lit merupakan bentuk mutakhir dari feminisme. Melalui karya itu, para pengarang perempuan mengidentifikasikan dunianya sendiri, merombak konsep-konsep ‘keperempuanan’ yang selama ini dibentuk oleh kaum pria. Sebagaimana dikatakan oleh Dyan (2005), “Waktu aku nulis itu aku mikir perempuan itu harus kuat, jangan mau kalah dengan cowok. Makanya, di situ Dealova aku tulis sebagai cewek yang tomboi karena aku memang suka sama cewek-cewek tomboi. Kalo menurut aku cewek tomboi itu perlu. Biar cowok enggak maen-maenin, enggak dianggap lemah, biar cewek itu bisa jaga diri." Dari ungkapan pengarang Dealova tersebut, jelas sekali bahwa ia sebagai pengarang ingin menyampaikan pesan “keperkasaan” kepada kaumnya.

Kajian Wanita dalam Sastra

Kajian gender merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya pria yang telah sekian lama selalu memposisikan kaum perempuan dalam posisi subordinat. Bukti pandangan yang bias gender ini terlihat sejak peradaban Yunani kuno. Aristoteles, misalnya, menegaskan bahwa ”pria memang ditakdirkan lebih unggul dan wanita itu lemah; pria menguasai dan wanita dikuasai”(Bressler,1999:180). Posisi subyek dan obyek yang dikatakan sebagai takdir yang ditentukan Tuhan membuat perempuan tidak diberi kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki.
Protes terhadap kondisi ini terlihat jelas dalam karya feminis awal Virginia Woolf. Ia menggambarkan sebuah masyarakat dengan kaum laki-laki yang selalu dan terus menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Hanya karena ia terlahir dengan kelamin perempuan menjadikannya tidak berhak ’memiliki kamar sendiri’ (’a room of her own’), ia tidak bisa memperoleh pendidikan serta pekerjaan yang layak. Protes senada juga diungkapkan oleh Simone de Beavoir, dari Perancis, melalui The Second Sex dan juga oleh Kate Millet dengan Sexual Politics-nya (Bressler, 1999:181-182).
Dalam dunia sastra, para penulis feminis berupaya menciptakan lakon perempuan yang sesuai dengan keinginan mereka—sosok yang berbeda dengan yang biasa ditampilkan penulis pria. Pengarang wanita berupa mendefinisikan dunianya. Mereka ingin menyatakan ’women are people in their own right.’ Wanita yang dalam dunia sastra dan masyarakat sering digambarkan dan diasosiasikan sebagai peri, pelayan bar, pelacur, ibu rumah tangga yang bodoh, melalui karya-karyanya berupaya melepaskan diri dari tekanan-tekanan tersebut dan mendefiniskan dirinya sendiri (Bressler, 1999:189).
Penulis-penulis Indonesia seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan beberapa penulis lainnya generasi 70-an terbukti telah memberi warna beda yang kuat pada sastra feminis. Mereka berupaya menegaskan eksistensinya sebagai perempuan. Mereka juga menunjukkan kepada budaya masyarakat patriarkis bahwa perempuan pun memiliki kemampuan dan sudah seharusnya diberi hak untuk menyusun stereotipe sastra dan budaya. Sebagaian ada yang menyebut mereka sebagai kelompok sastra wangi. Meskipun sebutan ini juga tidak begitu saja diterima oleh mereka (Dewi:2005).
Hasil dan Pembahasan

Data-data yang ada dikumpulkan dari novel-novel yang dipilih secara purposive, yakni novel-novel yang paling menonjol dalam menggambarkan konsep-konsep yang dirumuskan dalam permasalahan yakni konsep cantik, konsep bahagia dan konsep gadis ideal. Setelah dibaca novel-novel yang telah dikumpulkan, kemudian diperoleh empat novel, yakni My Friends, My Dreams karya Ken Terate, Ramalan Fudus Ororpus tulisan dari Julia Stevanny, Kana di Negeri Kiwi garapan Rosemary Kesauly, dan Summer Triangle karangan Hora Hope.
Satu persatu hasil analisa terhadap keempat novel ini disajikan pada bagian di bawah ini. Pembicaraan dilakukan berdasarkan urutan konsep-konsep yang menjadi fokus pertanyaan penelitian ini, dengan melihat masing-masing konsep yang terkandung dalam keempat sumber data.

Cantik versi remaja kita
Dalam bagian ini, akan dilihat bagaimana masing-masing novel sebagai sumber data mengkategorikan tentang konsep cantik. Novel tersebut merupakan tulisan-tulisan yang mewakili kaum perempuan dalam memandang dunianya. Kaum perempuan di sini secara khusus adalah para remaja, meskipun memang beberapa penulis bisa dikatakan sudah bukan remaja lagi. Tetapi hampir semua cerita yang diangkat menampilkan sosok remaja, para tokoh utama yang masih bersekolah di tingkat menengah.

a) My Friends, My Dreams (MF-MD).
Dalam novel MF-MD, tokoh yang diwujudkan sebagai sosok yang cantik adalah Marcella, salah satu dari trio (Joy, Wening) protagonis. Tiga orang ini teman sekelas, yang kemudian menjadi sahabat yang saling menopang. Kecantikan Marcella digambarkan sebagai berikut.

”Cantik, senyum dong. You look wonderful.” kata-kata Papa nggak bisa membuat gue menarik bibir walau setengah milipun. (MF-MD:16)

Kutipan di atas merupakan fakta cantik yang berasal dari komentar orang lain, yang disampaikan oleh si tokoh sendiri. Orang lain tersebut, ayahnya sendiri, mencoba merayu anaknya agar ceria dengan menyebutkan fakta keunggulan yang melekat pada putrinya tersebut.

”Ow, ada fotomodel nyasar rupanya.” Semua perkataan itu sudah gue cerna. Rasanya otak gue nggak ada di kepala. (MF-MD:17).
Tapi lebih banyak , mata cowok yang melotot melihat jenjang kaki gue (MF-MD:19).

Hampir sama dengan kutipan sebelumnya, fakta cantik ini datang dari orang yang merespon tentang dirinya. Kali ini adalah seniornya di SMU. Seniornya itu menganggap penampilan Marcella seperti fotomodel. Lazimnya, fotomodel pada umumnya sosok Marcella sudah semestinya cantik. Kutipan berikutnya fakta cantik diungkapkan oleh pelaku sendiri, yang bercerita mengenai respon teman-teman laki-lakinya di sekolah yang selalu menikmati keindahan kakinya. Dengan demikian, fakta cantik Marcella semakin kuat, dan dengan didukung satu kriteria, kaki yang jenjang.
Fakta cantik yang diungkap Marcella juga muncul ketika ia membayangkan sosok gadis Bandung yang harus ia cari sebagai tugas yang diberikan senior dalam acara MOS (Masa Orientasi Sekolah).
Masa sih, ada juga mojang Bandung yang nyasar di kelas ini. Gue edarin mata nyari cewek seksi yang rambutnya di-rebonding, dan pake rok mini (MD-MF:21)
Kali ini, Marcella menyampaikan kecantikan orang lain, yakni temannya yang berasal dari Bandung. Ia yakni bahwa orang dari sana tentulah gadis yang cantik, dengan kriteria-kriteria yang ia sebutkan: seksi, rambut di-rebonding.
Kecantikan Marcella juga diakui oleh dua teman akrabnya, Joy dan Wening.
”Elo suka basket?” tanya cewek cantik berambut di-rebonding itu dengan mata bersinar bak lampu disko. Dia kan cewek sensasional yang pake sepatu pink dan rok mini? (MF-MD:30)

Ini adalah komentar Wening tentang Marcella. Wening menyebutkan secara jelas bahwa Marcella adalah sosok yang cantik dengan mata bersinar. Berikut perkataan Joy tentang tokoh yang sama.
Marcella is perfect. Biarpun dia agak belagu dan rada-rada narsis. aku rasa anaknya asyik. Pinter, cantik, seksi, jago basket, gape ngeband, kurang apa coba? (MF-MD:33)
Marcella memang sempurna. Cantik, pinter, dan punya segudang ide kreatif. Apa sih kelemahannya? (MF-MD:47)

Joy dalam dua kutipan tersebut jelas menegaskan kecantikan dan segala hal yang menjadi mimpi dalam kehidupan seorang gadis remaja. Joy mengungkapkan kecantikan Marcella dengan kriteria cantik, seksi, dan pinter.
Kecantikan Marcella ini juga terasa dampaknya dalam pergaulan sekolah secara umum. Dalam arti bahwa kecantikan sudah umumnya menjadi pusat perhatian, sebagaimana komentar Joy tentang posisi mereka bertiga di hadapan pandangan umum.

Tadi ada cowok yang nyamperin aku, pertamanya sih ngajak kenalan. Tapi buntutnya minta dikenalin ama Marcella. Huh! gitu juga kalo kami jalan bareng bertiga. keliatannya kayak Charlie’s Angles di Catwalk bareng-bareng. Tapi lampu sorotnya cuma ngarah ke Marcella. (MF-MD:23)

Respon umum yang terjadi dalam novel merupakan hal yang lazim kita temui dalam kehidupan masyarakat. Cantik selalu menjadi sorotan dan sumber kekaguman bagi orang-orang yang sempat melihatnya. Begitu pun dengan apa yang dialami oleh Joy dan Wening, yang selalu menjadi sosok-sosok yang ”tidak terlihat” dalam mata para siswa. Dengan demikian, konsep cantik ini melekat pada diri Marcella, yang antara lain disebutkan dengan beberapa kriteria.
Kriteria cantik dalam novel juga bisa dilihat dari bagaimana Wening menemukan obsesinya. Ia begitu bingung mana yang bisa diangkat sebagai obsesi ketika ia memiliki terlalu banyak keinginan, sementara tidak yakin dengan target yang ingin ia raih.

Aku punya banyak obsesi. Mulai dari ingin berkulit putih...punya sepatu Gosh seperti Marcella, bisa main gitar...(MF-MD:60)

Cantik yang tampak dari kutipan ucapan Wening ini ada dua: memiliki kulit putih dan memiliki pakaian ber-merk, yang dalam hal ini diwakili oleh sepatu. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa orang cantik itu semestinya harus seksi, berkulit putih, rambut rebonding, dan pakaian bagus atau bermerk.

b) Ramalan Fudus Ororpus (RF)
Dalam novel RF, tidak banyak digambarkan tentang konsep cantik yang diungkapkan, paling tidak jika dibandingkan dengan MF-MD. Kebetulan tokoh utamanya justru gadis yang ”tidak cantik.” Tokoh utamanya adalah Deryn, yang memiliki lima saudara perempuan, merasa iri karena ia tidak mewarisi kecantikan ibunya.

Semua saudaraku seperti pinang dibelah lima. Seperti pinang dibelah enam dengan Mama. Supercantik. Sosok wanita sempurna. Wajah eksotis, kulit putih bersih, mata bulat besar, rambut hitam tebal, postur semampai….(RF:22)

Dari kutipan di atas, tokoh utama tampak begitu menginginkan dirinya seperti sosok-sosok perempuan lain yang ada di rumahnya. Ia menyampaikan ciri atau kriteria cantik yang melekat pada orang-orang di dekatnya: wajah eksotis, kulih putih bersih, mata bulat dan besar, rambut yang hitam dan tebal, serta tubuh yang tinggi semampai.
Kecantikan mereka juga diakui oleh mereka sendiri. Ketika mereka meligitimasi kebenaran ramalan yang menjadi tema cerita. Mereka mengatakan bahwa ramalan itu memang memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk menjadi kebenaran.

“Deryn diramal akan jadi perawan tua, Pa!”…
“Nggak kok, ramalan itu bener,” balas Juliet, mendelik ke arahku.
“Diliat dari luar aja udah kelihatan,” timpal Bianca tajam. “Diantara kita, Deryn kan yang wajahnya paling jelek…”(RF:20)

Selain kategori di atas, ciri cantik juga bisa ditarik dari deskripsi konsep lawannya, “tidak cantik.” Konsep “tidak cantik” ini muncul ketika tokoh utama memandang wajahnya di depan cermin. Ia pun mengakui ia memang memiliki kualitas fisik yang kalah dari saudara-saudaranya.
Sambil menggerutu menyesali nasib, aku meloncat ke depan cermin…Kulit kecoklatan, rambut ikal, pipi tembam, dan tubuh pendek. (RF:23)

Dari deskripsi di atas, ia ingin menegaskan bahwa menjadi cantik seseorang haruslah memiliki kulit yang putih, bukan coklat seperti dirinya ataupun mungkin warna lainnya. Begitu juga dengan rambut yang harus lurus, bukan ikal apalagi keriting. Hal ini tergambar jelas dari deskripsinya bahwa ibu dan kelima saudaranya memiliki rambut yang hitam dan tebal—tentu saja lurus. Kemudian “pipi tembam” mungkin merupakan wakil dari tubuh yang gemuk sebagai lawan dari kata semampai, yang juga dilawankan dengan kata bertubuh pendek. Dengan demikian, RF mengungkapkan konsep cantik yang sejalan dengan mainstream pemahaman yang selama ini berkembang.

c) Kana di Negeri Kiwi
Kana sebagai tokoh utama cerita dalam novel Kana di Negeri Kiwi mengalami nasib sebagai manusia yang terbuang, pertama oleh ibunya yang ingin menikah lagi setelah sekian lama menjadi janda. Dan kedua oleh Rudy, pacarnya, yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta, tidak lama sebelum ia berpindah ke Selandia Baru. Hal yang kemudian sangat mempengaruhi hari-harinya di negeri baru tersebut adalah kata-kata Rudy.
“Lagipula kau gemuk, Kana, kau terlalu gemuk bagiku. Orang-orang selalu menyebut kita pasangan ‘angka sepuluh’. Aku malu pacaran denganmu” (KNK:18).
Julukan sebagai sosok gemuk inilah yang menjadi warna pekat kehidupannya selepas diputus oleh pacarnya itu. Ia memfokuskan seluruh konsentrasinya pada usaha bagaimana menjadikan dirinya ‘tidak gemuk’. Ia menganggap kegemukan adalah sumber masalah dalam kehidupannya. Rudy, yang diharapkan, bisa menjadi tumpuan hatinya, ternyata pergi karena ‘kegemukan’ yang menimpa tubuhnya. Dan ia meyakini bahwa kepergian Rudy adalah kesalahan dirinya semata, yang memiliki tubuh yang kurang bagus di mata Rudy.
“Tapi beratku lima puluh kilo. Joy, ini gawat darurat, aku menghabiskan liburan musim panas dengan berdiet Atkins, diet Okinawa, diet detoksifikasi, dan entah sembilan ribu macam diet lainnya, dan hasilnya seperti ini.” (KNK:37)
Dengan demikian, cantik yang tertanam dalam diri Kana adalah tubuh yang bagus, atau lebih tepatnya tubuh yang tidak kelebihan bobot. Kana sangat risau dengan tubuhnya itu. Padahal menurut sahabatnya Joytika, tubuhnya masih proporsional dan tidak gemuk sama sekali.
“Kana, percaya deh, kau sama sekali tidak gemuk, lagi pula kalaupun kau merasa gemuk, lantas apa salahnya? Drew Barrymore juga tidak kurus-kurus amat, toh dia tetap terlihat cantik.” (KNK:39)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Kana merasa sumber masalah dalam kehidupannya adalah bobot yang berlebihan. Akibatnya, sedikit saja gemuk menjadikannya begitu ketakutan. Hal inipun diketahui oleh ayahnya, yang sebenarnya tidak begitu setuju dengan diet yang ia lakukan.
“Masih kaulanjutkan diet gilamu?”… “Dad, aku HARUS jadi kurus. Mungkin tidak penting bagimu, tapi penting bagiku,”…. “Asal kau bisa menjaga kesehatanmu bagiku tidak masalah.” (KNK:46-47)

Obsesi untuk memiliki tubuh yang langsing semakin menjadi ketika sekolahnya kedatangan para siswa dari Brazil. Kana begitu iri saat melihat bentuk-bentuk tubuh mereka.
Ya ampun, tubuhnya benar-benar membuat iri. Perutnya yang rata, pinggangnya yang ramping berlekuk, pinggulnya yang padat, semuanya TIDAK KUMILIKI. (KNK:62)
Konsep cantik inilah yang menjadi criteria dalam novel KNK. Tubuh indah menjadi kunci seorang perempuan untuk bisa disebut cantik. Hal ini disebabkan karena keputusan Rudy, pacarnya, untuk mengakhiri hubungannya adalah faktor kelebihan berat yang dialaminya.
d) Summer Triangle
Konsep cantik yang dihadirkan dalam novel Summer Triangle (ST) ini cukup simple. Tidak banyak kriteria yang disebutkan untuk mengkategorikan seseorang bisa disebut sebagai cantik. Ada sebutan lain untuk menggantikan kata “cantik,” yakni manis. Posisi “manis”, bila diskalakan, tentu masih dibawah cantik itu sendiri. Bahkan si tokoh utama cerita, Vega, bukan merupakan satu karakter gadis yang cantik. Ia seorang gadis yang biasa saja secara fisik.
Gambar itu bukan gambar Sophie. Perawakannya sedang. Tidak terlalu cantik, tapi juga tidak jelek-jelak amat. Rambutnya ikal dengan ekspresi wajah yang sedang marah-marah, mirip Dewi Medusa. (ST:128)

Kutipan di atas jelas menyebutkan bahwa Vega tidaklah cantik. Kata “manis” muncul ketika pengarang menggambarkan sosok Nina, sahabat Vega.
Vega memperhatikan penampilan cewek dengan logat Jawa original itu. Rambut pendek ala Demi Moore tahun 90-annya benar-benar …Tapi kalo sekarang cowok abis! Tapi tetap manis kok. Kan tahi lalat mungilnya masih menclok di bawah mata kanan. (ST:28)
Selain itu, Sophi, pacar Rio yang sudah meninggal, juga diilustrasikan dengan kata “manis.”
Dia akan menggambar cewek manis berambut panjang nan anggun itu tengah asyik bermain bulu tangkis…sewaktu bermain bulu tangkis, cewek itu selalu tampak cantik. Ia ceria dan penuh semangat. (ST:52)
Sophia teman dekat Nina yang juga tetangga sebelah rumahnya. Dia cantik, periang dan murah senyum. (ST:98)
Tampaknya secara fisik, karakter Sophilah yang mewakili konsep cantik dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai sosok yang anggun dengan rambut panjang dengan pembawaan selalu murah senyum dan penuh semangat.
Namun demikian, bukan kualitas cantik fisik yang menjadi faktor terpenting dalam diri seseorang. Dalam novel ini, dua sosok yang membawa perubahan dalam diri Rio adalah Sophi dan Vega. Sebagaimana bisa kita lihat pada kutipan berikut.

Sophia memang cewek yang penuh tawa ria. Bawaanya selalu riang seperti tidak pernah punya masalah. Beda dengan dirinya yang gampang senewen dan ketus kalau ngomong. Wajar kalau mereka sering beda pandangan dan berdebat. Tapi uniknya, kadang itu bisa membuat Rio tenang, bahkan sampai tergerak untuk “berbaikan” dengan Mama Lastri (ST:122).
Celoteh-celoteh Sophi jualan yang membuatnya baikan sama Mama…Mama Lastri benar-benar baik, bahkan lebih baik dari Mama Anna. (ST:124)

Rio mendapatkan kembali keceriaannya setelah ia bisa berbaikan dengan Mama Lastri dan ini berkat Sophi. Sejak itulah, Rio merasa berhutang budi pada Sophi dan berjanji untuk hanya mencintai Sophi selama kehidupannya. Begitu juga dengan kehadiran Vega saat ia pindah ke Jakarta, Rio ternyata bisa menemukan semangat kehidupan baru.
Rio nggak pernah menggambar orang lain selain Sophie,” lanjut Tante Lastri. Kalau dia tiba-tiba menggambar orang lain, pasti ada apa-apanya…”
Ya lumayan. Seenggaknya elo kan tau cinta elo nggak bertepuk sebelah tangan. Nah, elo bias tuh adegan romantis.Rio pasti bertekuk lutut…(ST:130)

Karakter Sophi dan Vega secara fisik jelas sangat berbeda. Tetapi ada apa dengan keduanya yang menjadikan Rio menemukan kembali semangat hidupnya. Tidak lain jawabannya adalah celoteh, perdebatan, dan keceriaan dari dua karakter tersebut. Baik Vega maupun Sophi adalah sosok yang selalu ceria dan sering harus berdebat dengan Rio tentang berbagai hal. Agaknya karakter inilah yang menjadi kunci kenapa keduanya menjadi sosok yang menarik bagi Rio.

Pembahasan
Cantik dalam keempat novel yang menjadi sumber data ini masih menganut cantik ala mainstream atau cantik patriarkis. Marcella, dalam MF-MD, digambarkan sebagai sosok yang tinggi semampai, berkulit putih dan seksi. Ibu dan saudar-saudara Deryn, dalam RF, digambarkan sebagai sosok yang supercantik dengan tubuh tinggi dan berambut hitam tebal. Dan Kana, dalam KNK, terobsesi untuk mengubah tubuhnya dari gemuk menjadi langsing; ia jug iri dengan teman-teman Berazil yang memiliki tubuh begitu seksi. Tokoh Sohpi, dalam ST, digambarkan sebagai sosok cantik berambut panjang yang anggun.
Konsep cantik yang sangat berkebalikan dengan kata gemuk, memang sudah menjadi prototype tentang apa cantik itu. Budaya patriarkis Jawa misalnya memiliki konsep cantik dengan kategori-kategori yang khas laki-laki. Dalam konsep tersebut, tubuh wanita dieksplorasi dan diarahkan kedalam seksisme ideal hasrat kelaki-lakian. Dari rambut yang ‘ngombak banyu,’ mata yang ‘ndamar kanginan,’ bibir yang ‘nggula satemplik,’ gigi yang ‘miji timun’ hingga pinggang yang ‘nawon kemit’ semunya merupakan bentuk-bentuk ideal yang diinginkan oleh kaum para ada pada diri wanita.
Konsep cantik dalam Budaya patriarkis Jawa ini pun bisa kita temukan pada hampir kebanyakan karya sastra yang ditulis oleh pria, dan juga wanita. Atau juga bisa kita dapati dalam berbagai ledenda yang berkembang di masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Bagaimana kisah Bawang Merah Bawang Putih, Kelenting Kuning yang keduanya senada dengan cerita Cinderella
Dalam suasanan budaya yang semacam inilah, makna cantik itu dikategorikan. Konsep cantik semacam ini masih bisa kita rasakan dan jelas bisa kita tangkap dari berbagai media, misalnya iklan pelangsing. Dalam iklan itu digambarkan bagaimana seorang wanita begitu saja diabaikan oleh pria pasangannya, hanya karena dianggap memiliki kelebihan bobot atau berat badan, meski itu tidak seberapa. Sang pria menjadi tidak mau memandang wanita yang bersolek di depannya. Dan masalah ini tentu dipecahkan dengan persuasifisme gaya iklan dengan mengkonsumsi produk yang dimaksud, tentu dengan hasil yang begitu memuaskan—sang pria akhirnya mau memberikan perhatian. Gambaran ini menunjukkan bahwa menjadi cantik adalah usaha yang dilakukan perempuan untuk melayani kaum lelaki.
Penutup
Hasil analisa menunjukkan remaja memandang cantik sebagai konsep yang dideskripsikan seperti dalam cantik mainstream dengan acuan pada model, Miss Universe dan semacamnya. Cantik ini memiliki kriteria: tubuh tinggi, kulit putih, rambut hitam lurus, dan seksi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh begitu dominannya kelompok patriarkis yang cenderung setali tiga uang dengan kelompok kapitalis. Pihak terakhir inilah pemegang media, yang memiliki peran bagi masyarakat dalam memandang diri dan mendikte bagaimana sosok dicitrakan.




Daftar Pustaka

Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice (2nd Edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Budianta, Melani. 2005. Suara Perempuan sebagai Saksi Zaman. Pustakaloka:Kompas (23 April 2005).
Dewey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. Hertfordshire: Simon & Schuster International Group.
Dewi, Eriyanti Nurmala. 2005. Sastra ”Chicklit”, Sastra Kaum Perempuan Urban. Pikiran Rakyat (1 Mei 2005).
Hope, Hora. 2005. Summer Triangle. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Housley, Suzie.2003. Chick-Lit: Is it A Fad that is Slowing Fading? www.MyShelf.com
Kesauly, Rosemary. 2005. Kana di Negeri Kiwi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
KCM. 2005. Penulis Belia, Mengubah Diary Menjadi Novel. www.kompas.co.id.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Stevanny, Julia. 2005. Ramalan Fudus Ororpus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Terate, Ken. 2005. My Friends, My Dreams. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar