Senin, 26 Januari 2009

Ibu, Karang dan Aku


….Kebetulan saja aku bisa tenang dalam gandengan Bapak yang berbadan tinggi besar. Sosok yang dengannya aku merasa terlindungi. Pletak-Pletuk suara-suara sepatu yang berbenturan dengan keramik koridor rumah sakit yang begitu panjang....sangat panjang dan membosankan....untungnya ada tanaman-tanaman yang tumbuh segar di sepanjangnya. Aku pasti selalu kelelahan begitu sampai ke kamar Ibu, yang ada di bangsal tengah. Sering di tengah jalan, aku terpaksa sering-sering berhenti untuk melepas rasa pegal di tungkai kaki. Biasanya pria berbadan tinggi besar di sampingku langsung tanggap dan dengan cepat menyambar tubuh kecilku, membopong dan melangkah lebih cepat. Aku sendiri merasa seperti terbang dan menikmati semilir angin perjalanan di tengah udara. Tangan-tangan mungilku mendekap pundak lebar itu sambil mata memejam—menikmati perjalanan di koridor itu sebagai kelebatan pilot pesawat kecil dengan satu penumpang yang terbang sangat rendah. Atraksi yang hebat!
Sebenarnya tidak...sudah hampir 3 tahun, tubuh kecil ini tidak lagi banyak tergantung pada sosok ibu—yang normalnya merupakan seorang yang selalu menjadi pendamping sekaligus model dari seorang anak. Tapi...beliau hanya terkulai lemah. Selalu begitu. Memoriku tentang ibu tidak lain adalah wajah pasi, tubuh kurus kering, dan suara mendesis serta mata yang terpejam menahan sakit yang tidak tertahan. Aku biasanya tidak kuat melihat semua itu. Lalu tanpa bersuara, mendekap tangan-tangan tulang itu, menaruhnya di dadaku dan aku tertelungkup di atasnya, air mataku mengalir deras...dan tanpa suara. Aku tidak merasakan apapun secara fisik. Tetapi robekan hati itu tidak kepalang rasanya....”Ibu...maafkan Fari ya?”
....Kepala dengan rambut jarang dan sangat kusut itu pun tidak kuasa mengangguk...tapi aku yakin bahwa mengiyakan permohonanku...kini mata cekung itu yang melelehkan air mata....”Ibu...jangan menangis...!”

Drama sedih harian itu menjadi semacam hiburan rutin dalam panggung kehidupan. Ironis memang. Tapi begitulah. Yang aku yakin bukan hanya menimpa aku seorang diri di belahan bumi Indonesia. Aku serta ibuku masih beruntung. Sangat beruntung. Sosok tinggi besar andalan kami selalu menemukan cara untuk menunjukkan ikhtiar yang layaknya dilakukan. Aku pun tahu itu. Bapak harus ke sana ke mari untuk mencari pinjaman. Penghasilan bulanan serta honor-honor yang ia peroleh untuk kerjanya di luar kantor masih jauh dari mencukupi untuk menutup biaya pengobatan ibu.
Tapi begitulah bapak. Tiada beban. Menjalani segalanya dengan senyum. Meski aku yakin ada kepayahan yang mendalam bukan hanya secara fisik—yang aku heran badannya tetap segede itu—dan seribu kelelahan psikis. Beliau selalu menyapa ibu dengan senyum. Biasanya seusai membiarkan aku mencium tangan ibu. Badan besar itu akan membungkuk, dan mengecup kening, terus kedua mata cekung ibu yang berbalut selaput kulit yang begitu kering. Tangannya menggenggam tangan ibu erat. Mencoba menyalurkan kekuatan untuk jasad yang terlampau lelah dan kesakitan itu.
Sisi lain dari keuntungan kami, dan ibu tentu, adalah kesabaran serta KESETIAAN yang tak berbatas. Hatinya adalah lautan energi positif. Lautan yang sepanjang penangkapanku tiada sedikit pun berpolusi. Ingin rasanya aku menulis surat pada GreenPeace bahwa mereka boleh berbangga karena di sini masih ada lautan yang betul-betul bersih tanpa polusi. Mereka tidak perlu khawatir tentang ikan atau lobster yang terkotori oleh polithylen dari materi-materi plastik. Di sini, dalam diri pria berbadan tegap nan besar. Ayahku.
Soal kesetiaan itu. Hai! Para laki-laki para penguasa patriarkis, di sini berdiri seorang dari kaummu yang memiliki seribu alasan untuk menikah lagi, tetapi ia tidak melakukannya. Cintanya utuh, dan makin tumbuh berakar demi melihat sosok yang didambanya semakin menyusut dihisap kesegaran serta keanggunannya oleh sel-sel kanker di tubuhnya. Semenjak ibu terdeteksi oleh dokter bahwa penyebab frekuensi kencingnya yang begitu hebat yang diikuti dengan gelembung perut yang makin besar adalah tumor kandungan empedu, bapak mulai tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan-pekerjaannya. Ia hanya fokus pada bagaimana memulihkan kesehatan ibu. Maka, aku menjadi biasa melihat Bapak yang segera menghilangkan bekas-bekas tangisnya sebelum langkah pertama membuka kamar perawatan Ibu. Paska pengangkatan ovarium itu, ibu harus menjalani kemoterapi untuk memastikan bahwa sel-sel kankernya betul-betul mati dan hilang dari tubuhnya. Zat-zat sitotoksik mulai masuk ke tubuh ibu yang tampak selalu dalam kondisi kesakitan. Namun baru mendapatkan dua kali obat kemoterapi, kondisi ibu sudah tidak berbentuk lagi. Kecantikan yang aku kenali dari foto-fotonya betul-betul amblas total. Kecantikan itu berubah menjadi sosok kurus, tulang berbalut kulit, dengan kepala yang hampir pelontos. Seluruh tubuhnya lemas, lunglai, badan seperti terbakar, nafsu makan hilang, bau makanan menjadi sumber rasa mual yang tidak tertahan. HB darahnya turun drastis.
Dan karang kesetiaan itu makin kokoh memapah ibu. Menjadi pendamping yang selalu tersenyum. Meyakinkan bahwa keindahan bahtera akan bisa diraih kembali. Itulah sinyal-sinyal verbal yang aku yakin tidak salah menangkapnya dari pandangan serta isyarat tubuh dari setiap perilaku bapak, saat menemani Ibu setiap kali ia menyelesaikan tugas-tugasnya untuk menafkahi aku serta ibu dan menjamin bahwa perawatan yang mahal itu tetap bisa ia tangani.
Aku tahu bahwa bapak selalu menyembunyikan tangisnya dari aku dan ibu. Selama hampir 3 tahun itu, aku sering mendapati bapak tidak ada di sampingku. Terdengar sesenggukan dari sebelah kamar. Ruang shalat di rumah kami. Tampaknya selepas tengah malam, pria bertubuh besar itu menjadi lelaki cengeng di hadapan Tuhannya. Ia memasrahkan segalanya, termasuk nasib ibu padaNya. Kadang saat ia kembali ke pembaringan, sesenggukannya masih terbawa. Sekali lagi, aku pun menjadi lelaki cengeng, yang munafik. Aku menangis tanpa suara. Tanpa air mata.
***
Malam lengang. Angin terasa kehilangan energi untuk bergerak menunjukkan keberadaannya. Langit pun serasa senyap tanpa sedikit cahaya. Kerlip bintang-bintang kecil di langit jauh sana, tak kuat menembus horison-horison kota yang mandi gemerlap cahaya. Syukurlah! Malam yang sempurna. Setidaknya listrik tidak mati hari ini. Tragis memang kisah negeriku ini. Negeri nan kaya yang dulu begitu bangga dengan kekayaan dan limpahan karunia yang tertuang dalam berbagai syair dan nyanyian. Kini kebanggan itu tersisa hanya dengan kenyataan pahit bahwa Ibu pertiwi tidak sanggup lagi menyangga kebutuhan anak-anak bangsa. Ia begitu kepayahan meladeni teriakan dan tangisan para Ibu yang khawatir dengan anak-anak dan bayinya di rumah, yang bisa saja kelaparan seharian. Mereka harus berebutan demi 2 liter minyak tanah untuk memastikan bahwa ia adalah ibu yang bertanggung jawab atau meyakinkan diri bahwa ia tidak gagal dan menemui suaminya yang menunggu di rumah dengan bersungut-sungut, dan menghabiskan menikmati sajian-sajian hiburan di kotak hitam di rumahnya, dan kepulan asap rokok yang tidak berhenti menjadi polusi, bukan hanya untuk tubuhnya tetapi juga rumah seisinya. Atau, si bapak akan tanpa ragu mendamprat dan mengarahkan tapak tangannya yang sangat kasar ke pipinya. ”Wanita bodoh!!” sambil beranjak dari kursinya, dan membawa uang yang sedianya untuk membeli minyak, untuk pergi ke warung dan menikmati sajian perut lapar itu sendiri, melupakan nasib orang-orang yang ia tinggal dan meyakinkan bahwa uang itu adalah mutlak haknya.
Ya. Lampu benderang. Ibu pertiwi malam ini masih sangat sayang. Dan aku pun maklum ketika tiga hari ke depan, kotaku gelap. Itu berarti Ibu pertiwi tengah melepas lelah. Sambil mengurut dadanya yang naik turun kembang kempis. ”Ibu, itu bukan salahmu. Sama sekali. Ada beberapa raksasa serakah di negeri ini. Tetapi kau masih menganggapnya sebagai anak yang harus kau lindungi.” Begitulah jiwa seorang ibu.
Serasa sebuah malam yang disebut sebagai lailatur qadar, malam dimana Tuhan menurunkan malaikatnya yang paling penyayang untuk memberikan cinta dan kasih sayang, menjawab segala doa yang dibisikan oleh bibir taqwa di malam gulita. Tapi, aku sendiri hanya terkapar sambil merenungi kisah-kisah tentang ibu di pembaringan. Aku ingin memastikan ibu tidak merasa terbeban secara mental. Aku tidak ingin ada rasa bersalah karena tidak merawatku dengan sempurna. Atau tidak menjadi istri yang dapat memenuhi kebutuhan batin seorang laki-laki, suaminya. Aku pun memastikan diri untuk bisa melaporkan hal-hal hebat yang aku lakukan di sekolah di depan teman-teman dan ibu guru. Tentang lomba-lomba mewarnai yang aku bisa taklukan dengan mudah. Tentang kontes pidato atau storytelling yang aku selalu ada menjadi peserta, meskipun hanya berkutat pada tingkat lima besar. ”Ibu, aku hebat kan. Itu karena ibu. Otak dari genetis ibu. Buktinya, Ibu kan yang bisa menggambar dan mahir berbahasa Inggris....Dan kehebatan itu ada padaku. Berkat engkau ibu...” Bisikan-bisikan itu kusampaikan di pembaringan ibu, sambil menunjukkan penghargaan yang aku terima. Bibir lemahnya pun mengecup mataku dengan lembut. Ia tersenyum. Tak urung air matanya pun tetap luruh...
”Far, kau akan lebih hebat dari ini. Jauh lebih hebat...seandainya ibu tidak begini. Kau akan memenangkan peringkat tertinggi dalam kontes itu, andaikan ibu menjadi audiens yang menikmati kisah-kisah bahasa Inggrismu. Menjadi lawan bermain dalam kontes pidatomu.” Mungkin itulah kata-kata yang tertuang dari buliran-buliran air mata dari dua bola cekung yang sangat mencintaiku. Sungguh realitas lebih kaya akan kata-kata. Satu citra kadang musti dituangkan dengan berlembar-lembar kisah. Sebagaimana campur baru antara cinta, permohonan maaf, kasih tak terbatas, ribuan rasa dan emosi yang tiada batas yang tertuang dengan genggaman tangan, kecupan lembut, dan luruhan air mata.
Malam sepi itu ternyata adalah kata pamitan yang disampaikan oleh tubuh lemah ibu. Aku berkeyakinan bahwa malam bak lailatul qadar itu adalah wujud pelayanan alam terhadap seorang manusia yang sekian lama menderita, dan berupaya menghadirkan kesedihan, permohonan maaf serta cinta yang mendalam kepada aku, bapak, dan orang-orang yang akan kehilangan sosoknya. Aku yakin bahwa lengang itu berupaya meyakinkan bahwa ”cintaku kepada kalian kan terbawa hingga pertemuan berikutnya, dan berikutnya lagi.”
Pagi itu, aku mendapati bapak bersimpuh. Karang itu begitu rapuh. Badan besarnya limbung. Ketegaran-ketegaran itu terlihat luntur. Aku sendiri tidak berani menghampirinya. Tubuhku lunglai dalam pelukan eyang putri, yang juga tiada kuasa membendung air mata. Bukan karena tubuh ibu yang sudah kaku. Kami sudah terbiasa menelan derita kesakitan ibu tiap kali efek dari sel-sel kanker itu menunjukkan sifat jahatnya. Sel yang teramat kejam. Aku membayangkan sosok sel kanker, seperti komando prajurit Mongol dalam kisah Mulan. Pedang besar, badan lebar, dan cambang mengerikan. Yang ada dalam otaknya adalah memenggal dan menumpahkan darah.
Eyang menangis demi melihat bapak yang seolah kehilangan nyawa. Energinya yang maha hebat seakan terserap seluruhnya oleh duka kepergian ibu. Matanya yang selalu berkilat penuh semangat kini tampak kuyu. Eyang makin mendekapku erat, mencoba meyakinkan bahwa semuanya kan baik-baik saja. Bahwa bapak akan kembali meraih semangat hidupnya. Atau paling tidak bahwa eyang akan sanggup menggantikan peran bapak, andaikan ada sesuatu yang menimpa. Aku pun membiarkan air mataku membahasi pundak eyang. Aku ketakutan. Aku kasihan pada bapak. Aku takut dia kenapa-napa. ”Tuhan berikan kekuatanmu sekarang. Karang itu membutuhkan tiang semangat baru untuk menopang hidupnya.”
***
Aku masih terpekur, komat-kamit menyelesaikan doa terakhirku. Pagi masih sangat ranum. Aku bersujud mencium bagian atas pusara ibu. Kubayangkan itu adalah pipinya, yang aku yakin sudah cantik kembali. Tepat di bawah karang bunga besar yang sengaja aku pesan dari tiga hari uang lalu, untuk menemani doaku, air mataku pun luruh kembali, memburai tiada terbendung. Air mata yang selama ini kutahan hampir 20 tahun. Tangisku berakhir dengan sesenggukan panjang, kepalaku menoreh-noreh pasir, mataku terpejam, larut dalam kesedihan yang sengaja kupendam dalam. Hampir 30 menit, sujud tangisku membuncah di atas pusara ibu. Seandainya, bukan pusara, ibu pasti akan mendelik karena bajunya sudah kuyup oleh air mata.
”Far, hari sudah siang...sebentar lagi kita harus bersiap,” tangan kekar itu menarik pundak. Dan membantuku berdiri. Dia tidak sebesar dulu. Malah sekitar dua senti di bawahku. Aku pun mendekap tubuh kekar itu. Yang sekarang sama kekarnya denganku. ”Terima kasih, bapak...” Kami pun meninggalkan pusara itu, dengan berdekapan, meninggalkan pusara dengan karangan besar bertatakan bunga-bunga kuning dan daun pandan. Tertulis dengan jelas, ”Selamat dan Sukses atas Dilantiknya Dr. Fahri Buwana, SpOg(K).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar